STUDI ISLAM



MENGENAL MANHAJ, THURUQ, ALWAN DAN QOWAID TAFSIR
Makalah ini Diberikan Sebagai Tugas Individual pada Mata Kuliah
Studi Al Quran
Pembimbing:
Prof. Dr. Salman Harun, M.A
Prof. Dr. Rif’atSyauqi Nawawi, M.A
Dr. Ansori, M.A., Lc



Disusun oleh:
Jonson Harianto
Nim: 211101100014
PROGRAM MAGISTER
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012



A.  PENDAHULUAN
Al Quran sebagai jalan untuk memahami agama Allah yang diajarkan kepada Nabi Muhammad saw, peran Al Quran adalah al bayan, dimana untuk menjelaskan ajaran Allah. Dengan kalam inilah manusia akan samapai kepada petunjuk Allah. Al Quran sebagai al bayan, ketika sampai pada pemahaman manusia, itupun menimbulkan berbagai pemahaman, ini dipengaruhi oleh latar belakang, budaya, bahasa, dan perdaban suatu kelompok masyarakat. Iniliah yang dinamakan penafsiran, dan timbulah apa yang dinamakan ilmu tafsir. Ilmu tafsir sendiri sudah mulai tumbuh sejak Zaman Rasulullah SAW.
Ketika rasulullah masih hidup, hak sepenuhnya menafsirkan Al-Quran hanyalah rasulullah, para sahabat tidak berani sembarang menafsirkan pemahaman, kalau nabi sendiri belum menyampaikannya kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa rasul sendiri, telah mempraktikkan ilmu tafsir dalam menyampaiakan pemahaman Al-Quran kepada para sahabatnya.
Setelah wafatnya rasulullah, tafsir al-Qur’an berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiapmasa dan generasi menghasilakan tafsir-tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari hukum-hukum agama. ini pun melahirkan kaidah-kaidah, metode-metode ataupun pendekatan-pendekatan yang dilakukan para mufasirin, sejak sahabat sampai saat ini. Selanjutnya dengan keragaman pendekatan, metode atau kaidah yang digunakanpun telah melahirkan tafsir yang beragam. Keragaman warna tafsir ini dipengaruhi oleh latar belakang para mufasirin itu sendiri.
Dalam makalah ini akan sedikit mengulas tentang manhaj (pendekatan), Thuruq (cara/metode), kaidah-kaidah dalam menfasirkan dan launul altafsir (warna tafsir).

 
B.         PEMBAHASAN
I.                 Manhaj al Tafsir
Manhaj berasal dari bahasa Arab yang artinya cara atau metode. secara terminology ialah langkah yang ditempuh seorang mufassir dalam menjelaskan tentang makna, mengambil makna dari teks, menghubungkan satu sama lain, melengkapi dengan atsar-atsar yang berkaitan dengan masalah itu, dan menyampaikan hukum-hukum, nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama yang terkait di dalamnya. dipengaruhi dengan kecenderungan, madzhab, pengetahuan dan karater mufassir. [1]
Manhaj tafsir merupakan kerangka yang digunakan para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an:
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Secara harfiah tafsir bi al-Matsur berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini disebut juga dengan tafsir bi al-riwayah yaitu penafsiran dengan menggunakan pengutipan riwayat. Penafsiran dengan pendekatan ini adalah menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, Menafsirkan suatu ayat dengan pendapat para Sahabat dan ulama besar dari kalangan Tabi'in yang berkaitan dengan penjelasan ayat, asbabunnuzul, dan kepada siapa ayat tersebut diturunkan.
Penafsiran dalam riwayat dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu :
a.       Penafsiran ayat Qu’an dengan ayat lain
         Ayat-ayat al-Qur’an menurut ahli tafsir saling menafsirkan antar sesamamnya. Penafsiran ayat dengan ayat lainnya bermacam-macam, yaitu:
Pertama, ayat-ayat atau ayat lainnya menjelaskan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu.  Misalnya, kata-kata al-muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 1 surah al-baqoroh, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya.
Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa as. pada surat tertentu  diungkapkan secara singkat, sementara pada surah yang lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih ringkas
Ketiga,  ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang mutlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat muqoyyad, dan ayat-ayat am ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khash.
Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat yang lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.
b.      Penafsiran ayat al-Qur’an dengan Hadits Nabi Saw.
Otoritas dalam penafsiran al-Qur’an terletak ditangan Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah diutus untuk menjelaskan wahyu al-Qur’an. Karena itu, hadits Nabi yang terdiri atas perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan para mufasir sebagai rujukan untuk menafsirkan al-Qur’an.
c.       Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
 Setelah Nabi wafat, orang yang paling memahami al-Qur’an adalah generasi sahabat, karena mereka hidup pada masa al-Qur’am masih diturunkan, bergaul dengan Nabi yang paling faham dengan isi al-Qur’an, serta pendapat-pendapat para sahabat dijadikan oleh para ulama tafsir sebagai bahan penting dalam menafsirkan al-Qur’an.
d.      Penafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat para tabiin
Para tabi’in adalah hidup dijazaman sahabat, sehingga pendapat mereka sangat diperlukan bagi generasi berikutnya dalam menafsirkan al-Quran.
Perkembangan metode tafsir ini dapat dibagi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi Saw dan para sahabat disebarluaskan segi periwayatan; priode tulisan, ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan mulai dibukukan.
Diantara kitab tafsir yang menggunakan tafsir al-Matsur adalah :
1.      Al-bayan fi tafsir al-Qur’an al-karim , karya at-Thobari  (W. 310 H)
2.      Ma’alim At-Tanzil, karya al-Baghowi (w.516)
3.      Al-bayan fi tafsir al-Qur’an al-karim , karya at-Thobari  (W. 310 H)
4.      Ma’alim At-Tanzil, karya al-Baghowi (w.516)
5.      Tafsir al-Qur’an Al-Azhim, karya Ibn Katsir ( w.774 H)
6.      Ad-Durr Al-Mantsur fi Tafsir bi Al Ma’tsur, karya As-Auyuthi (w.991)


b. Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-Ra’yi (penafsiran dengan rasio) adalah penafsiran yang dilakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir ini dinamakan juga tafsir ijtihadi yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran dengan corak ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.[2]
Menurut istilah, tafsir bi al-ra’yi adalah upaya untuk memahami nash Al-Qur’an atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang memahami betul bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalâlahnya, mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul asbâb nuzûl, mengerti nasîkh dan mansûkh di dalam Al-Qur’an, dan menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.[3]

Penafsiran dengan pendekatan ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufasir, perbedaan satu mufasir dengan mufasir lain lebih mungkin terjadi, dibandingkan dengan tafsir al-Matsur. Karena alasan itu beberapa ulama menolak penafsiran dengan pendekatan ra’yi, dan menyebutnya dengan tafsir bil-hawa. Pendekatan ini ada yang menrima ada juga yang menolak. Namun mereka tetap memiliki hujjah masing-masing. Tafsir model ini dapat diterima sepanjang penafsirannya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.         Memiliki i’tikad yang benar`dan mematuhi ajaran agama
b.     Mempunyai tujuan yang benar, artinya seorang penafsir dengan hasil karyanya harus semata-mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
c.      Seorang penafsir harus berpegangang pada nalil Naqli dari Nabi, sahabat dan orang yang hidup sejaman dengan mereka, sera harus menghindari segala yang berbau bidah.
d.     Penafsir harus menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan oleh penafsir. Kemudian penafsir harus menjauhi, sikap terlau berani menduga-duga Allah dalam Kalam-Nya, memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya, menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu,menghindari penafsiran tanpa alasan mengklaim bahwa itulah satu-satunya maksud Allah.5


Ayat-ayat yang mengandung bolehnya pendekatan ini ialah, sebagaimana dikutif Shubhi al-Shalih terdapat  pada surat Qs. Muhammad / 47:74dan QS. Shad/38:29
            Meskipun mufassir dengan pendekatan ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun ia tidak bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari pemahamannya terhadap nilai-nilai yang dikandung al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Mufasir tetap selektif terhadap hadis shoheh dan hadis palsu.
Adapun beberapa kitab-kitab yang menggunakan pendekatan tafsir bi al-ra’yi adalah:
1.      Madarik al-tanzil wa haq’[iq al-Ta’wil (pengetahuan tentang al-Qur’an dan hakikat Ta’wil) karya Mahmud al-Nasafi
2.      Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil (cahaya al-Qur-an dan Rahasia Takwil) karya al-Baidhawi
3.      Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil (Intisari Takwil tentang makna al-Qur’an) karya al-khazin.
4.      Mafatih al-Ghaib (Kunci keghaiban) karya Fakhr ad-Din al-Razi dan Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an wa al-Sab al- Matsani (Semangat Makna Tafsir al-Qur’an dan al-Fatihah), karya al- alusi.6

c. Tafsir bil Isyari
  Kata al-Isyari merupakan bentuk sinonom dari kata ad-Dalil yang berarti tanda, petunjuk, indikasi, iyarat, sinyal, perintah, panggilan, nasihat dan saran. Jadi tafsir bil-isyarah adalah pena’wilan al-Qur’an dengan mengesampingkan (makna) lahiriah karena ada isyarat tesembunyi yang hanya bisa diserap oleh orang-orang yang memiliki ilmu suluk atau tasauf.7 Besar kemungkinan ada upaya memadukan antara makna isyarat yang bersifat rahasia dan makna lahir sekaligus. Tafsir bil Isyarah ini biasa disebut tafsir bi ash-shufiyah dan Tafsir bi al-bathiniyyah .
Beberapa pendapat yang sangat tajam antar ulama tafsir tentang penyamaan tafsiral-isyari dengan tafsir al- bathini, dikarenakan keduanya lebih mengutamakan makna-makna al-Qur’an yang tersirat daripada makna-makna yang tersurat. Sebagian ulama yang lainnya  tidak sepakat untuk menyamakan tafsir al-Isyarah dan at-tashawwufi dengan tafsir lainnya tidak untuk menyamakan tafsir al-Isyarah dan at-tashawwufi dengan tafsir al-bathin.
         Alasannya tafsir ash-Shuufiyyah sama sekali tidak menolak kehadiran makna lahir al-Qur’an, bahkan mereka memperdalam makna lahir al-Qur’an sedenikian rupa sehingga mereka berargumentasi bahwa satu hal penting yang mau tidak mau harus diperhitungkan adalah orang yang mengklaim dirinya dapat memahami rahasia al-Qur’an
        Para penganut tafsir al-bathiniyyah menolakmakna lahir al-Qur’an itu bukan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an itu sendiri, karena yang dikehendaki diluar makna lahir dan karenanya pula harus beralih kepada makna batin. Tafsir bil-Isyarah berdasarkan isi dan substansinya terbagi menjadi dua  yaitu ; tafsir al-Isyarahal-Maqbul dan tafsir ail Isyarah al-Mardud. Dikatakan tafsir ini bila diikuti dengan syarat; tidak menafikan makna lahir dari makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur’an; mufassirnya tidak mengklaim bahwa itulah satu-satunya penafsiran yang benar tanpa mempertimbangkan makna tersurat; tidak menggunakan ta’wil yang jauh menyimpang dan penakwilannya lemah; tidak bertentangan dengan dalil syariat dan argumentasi aqli; serta adanya pendukung dalil-dalil syariat yang memperkuat penafsirannya. Sebaliknya, dikatakan tafsir al-Isyari al-mardud bila gaya penafsirannya menyalahi dari syarat-syarat penerimaan tafsir al isyari di atas. H. Ahmad Izuddin  berpendapat bahwa tafsir al-Isyari tidak bisa diterima apabila, tidak meniadakan makna lahirnya ayat al-Qur’an, tidak meyatakan makna isyarah itu merupakan murad satu-satunya tanpa ada makna lahir, ta,wil tidak menyimpang jauh, tidak bertentangan dengan syara’ dan akal, ta’wil dan isyarat tidak menimbulkan ragu pemahaman manusia.8
Tentang penggunaan tafsir bil Isyarah dalam penggunaannya sebagaian ulama membolehkan bahkan menganggapnya sebagai bagian dari kesempurnaan iman dan kesucian pengetahuan seseorang, sebagian lainya memandang bahwa tafsir al-isyarah ini merupakan tafsir aliran tafsir yang salah dan sesat, serta menyimpang jauh dari agama Allah. Ibn Qoyyim al-Jawjiyyah mengatakan bahwa penafsiran al-Qur’an yang dilakukan seorang mufassir, bersandar pada tiga; pertama tafsir yang beroreantasi pada tiga; pertama tafsir yang beroreantasi pada lafal yang umum dilakukan ulama Khalaf; kedua, tafsir yang mengacu pada makna ayat seperti yang dilakukan ulama Salaf; ketiga, tafsir yang cendrung pada makan isyarah seperti yang umum dilakukan oleh kalangan mutashawwifah.9

            Kelebihan tafsir al-isyarah adalah bahwa tafsir ini menunjukkan mufassirnya termasuk orang yang sempurna imannya dan bersih pengetahuannya. Dikatakan demikian karena para ulamanya memenuhi apa yang dikemukakan Ibn Al-Qoyyim al-Jawjiyyah, yaitu tidak bertentangan dengan makna ayat, makna tersebut ada dan termuat dalam teks ayat yang ditafsirkan, adanya isyarah dalam lafal Qur’an serta antara makna dan penafsiran terdapat jalinan hubungan yang mengikat. Dan kelemahannya dan tafsirnya ini mengutamakan intuisi (wijdan) sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar ilham dari Allah dan mana yang merupakan kecendrungan hawa nafsu.¹0

 
II.           Thuruq Al-Tafsir
Pengertian
Thuruq Al-Tafsir (metodologi tafsir) adalah ilmu tentang metode penafsiran Al-Qur’an. Dapat dibedakan antara metode tafsir dan metodologi tafsir. Metode tafsir adalah cara-cara menafsirkan Al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir adalah ilmu tentang cara penafsiran Al-Qur’an. Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbandingan), umpamanya disebut analisis metodologi. Namun jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat al-Qur’an, hal itu disebut pembahasan metodik. Adapun cara penyajian atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni menafsirkan. Jadi, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan seni atau tekniknya adalah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang tertuang di dalam metode.   

Metode-Metode dalam Tafsir
1.      Metode Tahlili
            Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.[4] Metode tafsir dengan cara meneliti, menguraikan dan menganalisis, dimulai dari uraian makna kosakata, kalimat, dan maksud setiap ungkapan kaitan antar pemisah (munasabah) sampai sisi-sisi keterkaitan munasabah itu (wajhal munasabah) dengan bantuan asbabun nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, sahabat dan tabiin.
           

2.      Metode Ijmali (Global)
           Secara lughowi, kata al-ijmali berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlah. Jadi tafsir ijmali ialah penafsiran Al-Qur’an dengan cara mengemukakan isi dan kandungannya melalui pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci. [5] Para mufassir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat dan bahasa yang mudah, sehingga dapat difahami oleh semua orang, mulai dari orang yang berpengetahuan luas sampai orang yang berpengetahuan sekedarnya.[6]
           Dalam menyajikan makna-makna Al-Qur’an para mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari Al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an melalui metode ini mufassir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan asbabun nuzul turunnya ayat dengan cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya. Pembahasan tafsir ijmali ini hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa.
                  Metode Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan surah-surah Al-Qur’an, sehingga makna-maknanya dapat saling berhubungan. Dalam menyajikan makna-makna ini mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari Al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat penghubung, sehingga member kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.[7]
              Kelebihan dari metode ini adalah, praktis dan mudah difahami, bebas dari penafsiran Israiliyat, akrab dengan bahasa Al-Qur’an. Kekurangannya yaitu, 1) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an bersifat parsila dan tidak utuh.2) Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.



3.      Metode Muqarran (Perbandingan)
            Metode tafsir muqarran yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah ayat Al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat itu, baik mereka termasuk ulama salaf maupun ulama hadits yang metode dan kecenderungan mereka berbeda-beda, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in (tafsir bi al-Matsur) atau berdasarkan rasio (ijtihad, tafsir bi al-Ra’yi), dan menggunakan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an.
            Kelebihan dalam metode ini adalah, 1) Memberikan wawasan yang luas. 2) Membuka diri untuk selalu bersikap toleran. 3) Dapat mengetahui berbagai penafsiran. 3) Membuat mufassir lebih berhat-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
            Kekurangan yaitu, tidak cocok untuk pemula, kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer, dan menimbulkan kesan pengulanagn pendapat para mufassir.


4.      Metode Maudhu’i
           Tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul atau topik tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.[8]
              Menurut segi etimologis para ulama, metode tematik adalah menghimpun seluruh ayat Al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Setelah itu kalau mungkin disusun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya diukur dengan timbangan-timbangan teori akurat sehingga mufassir dapat menyajikan tema secara utuh dan sempurna.[9]
           Kelebihan dalam metode ini adalah, 1) Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan kondisinya. 2) Lebih praktis dan sistematis. 3) Sangat dinamis. 4) Menafsirkannya lebih utuh tidak secara parsial.
           Kekurangannya adalah, memenggal ayat Al-Qur’an dan membatasi pemahaman ayat.

III.  ALWAN AT-TAFSIR
           Pengertian Alwan At-TafsirAl-launu yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an. Seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an tentu akan menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri. Sedangkan alwan macam-macam penafsiran, misalnya seorang  filosof dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi oleh corak atau warna menfasirkan dengan menggunakan rasio.
Macam-macam Alwan At-Tafsir
Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahlili yang jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh metode tafsir, yaitu:[10]

1.      Tafsir Fikih
Tafsir al-Fiqh adalah tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian kepada fiqih (hukum Islam). Karena itu, para mufassir corak ini biasanya adalah ahli fiqih yang berupaya memberikan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum Islam. Tafsir ini muncul bersamaan dengan munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur.

2.      Tafsir al-Shufi
Tafsir al-Shufi adalah tafsir yang ditulis para sufi. Sesuai dengan pembagian dalam ilmu tasawuf. 
Yaitu tafsir yang diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf teoritis (at-tasawuf an-nazzhari) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf al-amali). Tafsir shufi dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyimpangan dalam tafsir, karena cenderung menjustifikasi teori-teori dan ajaran shufiyah yang belum tentu benar adanya bahkan bertentangan dengan syariat Islam terutama tasawuf falsafi atau teoritis.
Tafsir tasawuf memiliki dua macam, yaitu:
Tasawuf nadzari (teoritis), yaitu tafsir yang cenderung menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian bahasa. Tafsir corak ini selalu mengaitkan penafsirannya dengan teori tasawuf untuk mendukung teori tersebut.[11]
Tasawuf amali (praktis), yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluknya. Jenis tafsir oleh para ahli tafsir disebut tafsir isyari bias diterima, dengan syarat:
Tidak bertentangan dengan lahir ayat
Mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguatnya
Tidak bertentangan dengan ajaran agama dan akal
Tidak menanggap bahwa penafsiran model itu yang paling benar sesuai dengan kehendak Tuhan.
           Dari sini dapat diketahui bahwa karakteristik tafsir shufi adalah dengan manhaj isyari atau isyarat-isyarat bathiniyah dengan corak teori dan perbuatannya dalam dunia tasawuf (pengalaman spiritual).

3.      Tafsir al-Falsafi
Tafsir al-Falsafi adalah tafsir yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang menerima pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang berkembang di dunia Islam seperti Ibn Sina dan Al-Farabi maupun yang menolak pemikiran filsafat itu. Dengan kata lain, tafsir filsafat adalah tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yaang berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir yang bercorak filsafat, artinya dalam menjelaskan makna suatu ayat mufassir mengutip atau merujuk pendapat para filosof. Persoalan perbincangan dalam suatu ayat dimaknai atau di definisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat, makna suatu ayat ditakwilkan sehingga sesuai dengan pandangan mereka. Hal ini seperti penafsiran Ibnu Sina terhadap surah An-Nur ayat 35.
Corak rasional telah melahirkan berbagai nuansa tafsir bersamaan dengan berkembangnya paham-paham dalam umat Islam. Kaum Mu’tazilah tampil dengan menakwlikan ayat Al-Qur’an sesuai dengan teologi mu’tazilah. Begitu juga dengan teologi yang lainnya.
Dalam tambahan penjelasan Quraish Shihab, corak tafsir falsafi dipengaruhi dari pemahaman atau teori filsafat dan penerjemahan karya-karya filsafat, masuknya pemikiran agama-agama lain yang menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.[12]

4.      Tafsir al-Ilmi
Tafsir al-Ilmi adalah penafsiran Al_Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat Al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan corak ini terutama adalah ayat-ayat al-kawniyyah (ayat-ayat yang berkenaan dengan kejadian alam).

Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an. Lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial.[13]
 
IV.           QAWAIDH AL-TAFSIR
A.  Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir
                         Qowaid Al-Tafsir merupakan kata majemuk; terdiri dari kata qowaid dan kata tafsir. Qowaid secara etimologis, merupakan bentuk jamak dari kata qoi’dah atau kaidah dalam  bahasa Indonesia. Kata qo’idah sendiri, secara semantik, berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip”[14]
          Secara etimologis, tafsir berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, tafsir ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun. [15]
          Secara terminologis terdapat banyak difinisi yang di ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh Az-Zarqani yang mengungkapkan bahwa tafsir adalah “suatu ilmu yang membahas perihal Al-Qur’an dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar kemampuan manusiawi”.[16] Begitu pula imam Al-Qurtubi yang mengatakan, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz”.
          Sedangkan As-Suyuti yang dikutip Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “ ilmu yang membahas maksud Allah ta’ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna”[17]
          Jadi bila dirangkai dalam satu definisi kedua kata diatas, maka kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.

B.     Macam-Macam Kaidah-Kaidah Tafsir
1.        Kaidah Untuk Yang Ditafsirkan
        Al-Qur’an yang berisi hukum hukum syara’ merupakan sumber kebahagiaan yang  abadi, ia adalah tali yang kokoh dan jalan yang lurus, ia sangat sulit menjadi petunjuk kecuali mendapat taufiq dan hidayah dari Allah SWT.   Sehingga para sahabat r.a. disamping sebagai orang orang yang memiliki tingkat kefasihan yang sangat tinggi juga sekaligus hati mereka secara langsung menerima pancaran sinar kenabian, para sahabat r.a. banyak menjadikan Nabi SAW. Sebagai sentra dan rujukan bertanya tentang hal-hal tidak mereka pahami bahkan seringkali tidak jelas makna apa yang terkandung dan kemauan apa yang  dikehendaki oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an yang agung.
        Kemudian tentang Ilmu Tafsir, menjadikan ilmu itu mulia disebabkan karena kemuliaan objeknya, kemuliaan kandungannya serta ia sangat dibutuhkan, di segala tempat dan zaman”.[18]
Dan manakala sesuatu yang dicari itu makin besar nilainya, maka akan semakin dibutuhkan untuk suatu kajian yang sempurna tentang cara-cara yang terbaik untuk mencapainya, tidak perlu disangsikan lagi bahwa apa yang kita kaji dan kita bahas saat ini adalah suatu perkara yang sangat urgen dan paling tinggi nilainya, bahkan merupakan pokok pangkal. Ketahuilah bahwa Al-Qur’an yang agung diturunkan oleh Allah SWT. Sebagai petunjuk dan tuntunan bagi makhluk-Nya. Kitabullah juga akan terus mengalirkan petunjuknya tentang perkara perkara yang terbaik dan terlurus pada setiap waktu dan tempat.Allah SWT. berfirman dalam QS. 17 :9  yang artinya:
” Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang  Lurus“
Karena itu, setiap orang berkewajiban mempelajari kalamullah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW. Jika sedang membaca puluhan ayat Al-Qur’an, mereka tidak akan melanjutkan kepada ayat berikutnya sebelum mereka mengetahui kandungannya yang menyangkut keimanan, ilmu dan amaliah. Dan berikutnya mereka menghubungkannya dengan kondisi dan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, mengimani semua doktrin aqidah dan informasinya, serta meneliti mana yang termasuk ayat perintah dan larangan. Selanjutnya, mereka menerapkannya pada semua peristiwa dan problema yang ada di sekitarnya”.[19]

2.         Kaidah Untuk Mufassirin
Dalam upaya menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara baik, diperlukan syarat-syarat khusus bagi seorang mufassir, baik yang menyangkut kepribadian, kemampuan akademis maupun kemampuan teknis operasional penafsiran, seperti syarat-syarat:
1.    Seorang mufassir harus memiliki kepribadian yang mulia, memiliki dasar- dasar keimanan yang mantap dan jiwa yang bersih, Al-Qur’an hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membaca baik di dalam maupun di luar salat, selain itu harus disertai pula ketaqwaan kepada Allah SWT, karena Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
2.    Seorang mufassir harus mengetahui dan menguasai bahasa Arab, dan cabang- cabangnya, Ali Hasan Al-Aridl lebih terperinci lagi dalam menyikapi kebutuhan seorang mufassir dalam berbahasa Arab diantaranya ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu Ma’ani, ilmu Badi’ dan ilmu Qiraat”.[20]
3.    Seorang mufassir harus pula mengetahui pokok-pokok ulum Al-Qur’an, seperti asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, ilmu makki dan madani.
4.    Seorang mufassir juga perlu menguasai ilmu kalam (teologi),ushul Fiqih dan sebagainya. Melalui ilmu-ilmu itu seorang mufassir dapat menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara maksimal.
5.    Tidak kalah pentingnya pula seoorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hendaknya mengambil rujukan atau referensi dari tafsir-tafsir yang mu’tabar, untuk dianalisis secara kritis dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya. Dengan langkah terakhir ini diharapkan dalam penafsiran Al-Qur’an penuh ketelitian yang mendalam untuk menghasilkan tafsir yang komprehensif”.[21]

3.         Kaidah Untuk Penafsiran
Kaidah-kaidah tafsir yang dimaksud dalam pembahasan makalah ini adalah ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh para ulama untuk dijadikan pedoman dalam menafsirkan Al-Qur’an, atau suatu aturan yang dapat membantu seorang mufassir dalam menafsirkan Kitabullah yaitu Al’Qur’anul Karim.
Ada beberapa macam kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an yaitu :
a)      Kaidah Quraniyah
Kaidah Quraniyah ialah penafsiran Al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari Al-Quran. Hal ini didasarkan atas pernyataan Al-Quran bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna Al-Quran secara tepat hanyalah Allah. Dan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an. “Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”.  Menurut Ibn Katsir, model penafsiran inilah yang terbaik.
Pandangan Ibn Katsir ini bisa dinilai sebagai pendapat yang argumentatif, di mana antara satu ayat dengan ayat lain saling berhubungan, sehingga dapat berfungsi sebagai tafsir bi al-ma’tsur.
Beberapa kaidah yang lazim digunakan ini antara lain:
b)     Kaidah yang berkaitan dengan  Am  dan Khas  [22]
Maksud kaidah ini jika satu nas menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain menerapkan nas tersebut, sekalipun nas itu turun untuk menanggapi suatu peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegangi oleh mayoritas ulama dengan argumentasinya yang bervariatif. Misalnya . “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[23] Menurut riwayat Abdullah, ayat ini turun untuk menanggapi suatu kasus pencurian perhiasan yang dilakukan seorang perempuan bernama Tumah. Persoalan yang muncul dalam hal ini, lafaz yang digunakan berbentuk istm mufirad yang di ta’rifkan termasuk kategori lafaz umum. Jumhur ulama’ menerapkan langsung hukum tersebut tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul karena lafaz tersebut berbentuk umum.
Selain pendapat tersebut, ada ulama’ yang memberikan analisis berbeda, yaitu dengan mengetahui sebab nuzulnya kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik kualitas peris­tiwa, pelaku, tempat maupun waktunya. Mekanisme pendapat kedua ini lebih banyak menggunakan metode qiyas, karena jika seandainya yang dikehendaki lafaz umum, mengapa Tuhan masih menunggu peristiwa-peristiwa tertentu.
Dalam hal ini, Al-Zarkasyi mengatakan boleh saja sebab itu khusus dan boleh juga sebaliknya.[24] Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukan bahwa hukum yang terkandung ber­kaitan dengan nama yang mulia. Misalnya: Mereka menjawab:  “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[25]
ayat tersebut merupakan lanjutan ayat sebelumnya, mengenai dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan dengan pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian, malaikat heran dan me­ngatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling membunuh?”. Untuk membuktikan kemahatahuan Tuhan, Dia mengajar Adam nama-nama benda yang tidak diketahui malaikat Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemaha-ta­huan Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya.
c)      Kaidah yang bertalian dengan mutasyabihat dan muhkamat
Dalam satu pengertian Al-Quran semuanya muhkam, dalam pengertian lain semuanya mutasyabih, tetapi pada pengertian lain lagi sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih. Ungkapan yang menunjukkan semuanya muhkam adalah: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpinpun. “[26]Maksud muhkam, ayat-ayatnya tidak ada yang kontradiksi, semua perintahNya kembali kepada kebaikan manusia dan semua laranganNya kembali kepada kejelekan. Argumen lain yang menyatakan semuanya mutasyabih adalah:  “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184].
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Mutasyabih dalam hal kebaikan dan kejujuran, petunjuk dan kebenaran dan lain-lain. Di samping hal itu juga ada anggapan sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih, sebagaimana dalam penjelasan di dalam Al-Quran.Misalnya ada ayat yang menjelaskan kekuasaan Allah, sedangkan apa yang Dia kehendaki terjadi dan apa yang tidak dikehendaki tidak terjadi, Allah juga memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki tetapi juga menyesatkan kepada orang yang dikehendaki.
Memahami mutasyabih itu harus setelah memahami ayat-ayat muhkamat. Muhkamat adalah ummul kitab, sebagai sesuatu yang pokok, sedangkan yang mutasyabih adalah sebagai cabang. Memahami yang pokok harus terlebih dahulu dari pada me­mahami cabangnya.
Dengan demikian jika menafsirkan suatu ayat mutasyabih, maka terlebih dahulu harus mengetahui ayat yang muhkam sehingga mendapat suatu pengertian yang kongkrit dan mendapat keyakinan yang mendalam tanpa adanya keragu-raguan.
Untuk memahami mutasyabih itu cara mentakwilkannya harus dikembalikan pada muhkamnya. Apabila mufasir sudah mendapat suatu pengertian yang positif dari ayat yang muhkam, maka ia harus menyelidiki dan membahas ayat-ayat mutasyabih dengan berpedoman pada ayat-ayat muhkam.
d)     Kaidah Sunnah
Berdasarkan penjelasan yang ada dalam Al-Quran 16:44 dan 64, Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka Rasul merupakan sumber penjelas tentang makna-makna Al-Quran. Beliau tidak menafsirkan menurut akal pikiran tetapi menurut wahyu ilahi. Dalam hal ini, Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu al-Quran dan penafsiran yang ditu­runkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Quran dan kemudian dikenal dengan Sunnah. [27]
Kaidah yang dipergunakan di antaranya ialah:
a.       Sunnah harus dipakai sesuai dengan petunjuk Al-Quran.[28]
Berdasarkan atas hadits Nabi sebagai penjelas Al-Quran, se­cara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan de­ngan Al-Quran sebagai materi yang dijelaskannya. Dengan demikian penjelasan Nabi saw. selalu dalam kerangka Al-Quran. Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya hadis sahih yang bertentangan dengan Al-Quran. Contoh: hadis Nabi yang diriwayatkan Muslim dari Anas: “Sesungguhnya ayahku ayahmu di neraka” Nabi Saw. mengemukakan sabda ini ketika menjawab seseorang yang menanyakan tempat ayahnya.
Dalam hal ini Yusuf Qardawi mengungkapkan bahwa ayah Nabi Saw. tidak masuk neraka disebabkan ia tidak mempunyai dosa. Beliau hidup pada zaman Atra’i. Pendapat yang sahih mengatakan bahwa beliau tidak dimasukkan di neraka. Jika diteliti mendalam, makna ayahku di sini adalah pamannya, Abu Talib. Anggapan paman sebagai ayah dapat dibenarkan sebagaimana diistilahkan di dalam Al-Quran, anak-anak Ya’kub kepada orang tua mereka.[29] Padahaldalam hal ini Isma’il adalah paman Ya’kub, tetapi Al-Quran mengungkapan dengan kata ayah (orang tua).
Oleh ka­rena itu tidak heran bahwa Abu Talib adalah ahli neraka, sebab di dalam masa hidupnya belum menyatakan beriman kepada Nabi. Hal dikuatkan oleh firman Allah pada Al-Quran. “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi  dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” [30]
b.      Menghimpun hadits yang pokok bahasannya sama.[31]
Hadis yang dimaksud dalam hal ini adalah hadis yang sahih. Dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad dan menkhususkan yang umum.
Dengan demikian akan didapatkan suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan, bahwa hadis berfungsi menafsirkan Al-Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap dan lain sebagainya.
e)      Kaidah Bahasa
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab.[32] Tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahaminya kecuali diperlukan adanya penguasaan terhadap bahasa Arab. Di antara kaidah-kaidah yang harus dipahami ialah:
a.       Dhamir dalam kaidah ini terdapat beberapa aturan, antara lain:
v  Dhamir pada dasarnya untuk mempersingkat perkataan dasarnya untuk mempersingkat perkataan, dan berfungsi untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu secara sem­purna tanpa merubah makna yang dimaksud dengan tanpa pengulangan. Misalnya :
Dalam ayat: QS: 6 : 112 :              ... يوحي بعضهم الي بعض
Dhamir hum menggantikan kedudukan kata-kata :...شيطين الانس والجن...     yang ada pada sebelumnya dan jika disebut akan memperbanyak sampai 20 kali.
v  Dhamir harus mempunyai marji’ untuk tempat kembalinya
Contoh:  pada      ... يوحي بعضهم الي بعض ...
Kata kembali pada kata ...شيطين الانس والجن...   
Menurut asalnya dhamir itu kembali pada sebutan yang paling dekat. Contoh QS: 6: 112: Obyek pertama yaitu Sya-yathinal insyi wal jinni”  diakhirkan supaya dhamir “Hum” dari kata “Yuhi ba’dhuhum” Dapat dikembalikan kepadanya secara dekat.
b.      Al-Ta’rif dan Al-Tankir
Apabila terjadi pengulangan isim, maka akan bisa terjadi empat kemungkinan yang masing-masingnya membawa konsekwensi makna yang berbeda. Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1)        Nakirah’Ma’rifah
Contoh QS: 30: 54: Di dalam ayat tersebut ada lafaz  “Dho’fin”  berulang sampai tiga kali, yang dimaksud dengan kata “Dho’fin”   yang pertama adalah nuthfah, yang kedua ialah anak-anak dan yang ketiga lemah di masa usia lanjut. Dus, dalam konteksnya, nakirah yang pertama dan selanjutnya memiliki makna yang berbeda.
2)   Ma’rifah-Ma’rifah
Contoh QS:1: 6-7: Yang pertama dima’rifatkan dengan “Al-Shiroth” dan lafadz “Shiroth”   yang ke­dua dima’rifatkan dengan idhafah kepada isim maushul dan kedua lafaz tersebut mempunyai satu makna.
3)   Nakirah-Ma’rifah
Contoh: Qs. 73 : 15-16: Lafadz “Rasulan” pertama adalah nakirah pada lafadz “Ar-Rasula” kedua yang ma’rifah, dalam hal ini pengertiannya sama yaitu Nabi Musa As.
4)        Ma’rifah-Nakirah
Apabila isim disebut dengan ma’rifah, lalu diulangi dengan nakirah, maka tidak boleh dimutlakkan kepada ungkapan itu, tetapi harus melihat karinah-karinahnya. Adakalanya karinah itu menunjukan adanya perbedaan makna. Contoh: Qs. 39 : 27-28: Lafaz “Al-Qur’ani”  yang pertama ma’rifah dan “Qur’anan” yang kedua nakirah.
c.       Tadzkir dan Ta’nis
Pada hakikatnya untuk tarats, hurufnya harus tetap pada fi’ilnya (kata kerja). Kecuali apabila antara kata kerja dan fa’il (subyek) nya terpisah. Ta’tanis lebih diutamakan tetap pada kata kerja apabila subyeknya mu’annats haqiqi Sebaliknya, apabila subyeknya itu muannats majazi, ta ta’nis lebih baik dibuang dari subyeknya. Contoh Qs.80 :33   dan apabila ism al-isyara-isyarai ada di antara khabar dan  mubtada yang salah satunya mudzakkar (jenis laki-laki) dan yang lain muannats (jenis perempuan), maka dhamrr atau ism isyrah itu boleh dituliskan dalam bentuk laki-laki atau perempuan Contoh tiap-tiap isim jenis tertentu, seperti manusia, binatang dan alam.

 
DAFTAR PUSTAKA

Al-Farmawi, Abdul Hayy.Metode Tafsir maudhu’i dan Cara Penerapannya. Bandung: Pustaka Setia, 2002, Cet. Ke-1
_________ Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Matba’ah Al-Hadarah Al-‘Arabiyah, Kairo, 1977.
Al-Qattan, Manna. Mabahits FiUlum Al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Azra, Azumardi. Sejarah & ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, Cet. Ke-3
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2003. Cetakan II.
Dahlan, Abd. Rahman. Dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.
Kadar, M. Yusuf. Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2010.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Saleh, Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jambi: Sulthan Thaha Press bekerja sama dengan Gaung Persada Press Jakarta, 2007.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan: Bandung, 1999.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.
Syafe’i, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2006.
Syamsuddin, Syahiron. Metode Intratektualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran Al-Qur’an dalam Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.




[1] Muhammad Husain Al-Dzahabi, Tafsir Wal-Mufassirin, Kairo Dar al-Qohiroh, 1976, Hal-22
[2] Azumardi Azra. Sejarah & ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 176.
[3] Husein Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, (Al-Qâhirah: Maktabah Wahbab, 2003), Jilid 1, h. 183. Baca juga Khalid Abdurrahman Al-‘Ak, ibid. Lihat juga karya Afaf Ali Najar, Al-Wajîz fî Manâhij al-Mufassirîn, (Al-Qâhirah: Maktabah Al-Azhar), h.56.

[4] Azumardi Azra. Sejarah & ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 173.
[5] Ahmad Izzan. Metodologi Tafsir. Tafakur. Hal-105.
[6] Rosihan Anwar. Metode Tafsir Maudhui. Jakarta: Pustaka Setia. Hal-26.
[7] Azumardi Azra. Sejarah & ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 185.
[8] Abdul Hayy Al-Farmawi, Mu’jam Al-Alfaz wa Al-A’lam Al-Our’aniyah. Dar Al-‘Ulum, Kairo, 1968, hal. 52.
[9] Abdul Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya. Bandung: Pustaka Setia, 2002, Hal 44.
[10] Azumardi Azra. Sejarah & ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 174.
[11] M. Yusuf Kadar. Studi Al-Qur’an… Hal-159
[12] M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992. Hal-72-73
[13] Azumardi Azra. Sejarah & ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 184.
[14] Supiana-M. Parman, Ulum ul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002) h.273.
[15] Dr.’Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan metodologi tafsir,( Jakarta :
[16] Muhammad Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-Irfa ‘Ulum Al-Quir’an, ( Makkah Al-Mukarramah: Maktabah nazar Mustofa,TT,) h.6
[17] M.Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir, (Kairo: Darul Hadits, 2005) h.6
[18] Ali Hasan Al-‘Aridl, 1994, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ( Raja Grafindo Persada, 1994 ) h.4
[19] Abdurrahman Nashir As-Sa’di, , terjemah :Marsuny Sasaki dan Mustahab Hasbullah, Kaidah Penafsiran Al-Qur’an,(Jakarta: Pustaka Frirdaus, 1980) hal. 3
[20] Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah …, h.4
[21] Supiana-M. Karman, Ulum ul Qur’an …,h.276
[22] Abd al-Mun’im al-Namr, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim (Beirut Dar Kitab al-Lubnan, 1983), h. 100-101
[23] Qs. 5:38
[24] Badr al-Din Muhammad ibn ‘Abduliah al-Zarkasyi, al-Burhan fi’Ulum al-Qur’an, Jilid I (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth.), h. 23.
[25] Qs. 2:32
[26] Qs. 39: 23
[27] Yusuf Qardawi, Studi Kritis as-Sunnah, terj. Bahrun Abu Bakar, Cet I (tth.: Trigenda Karya, 1995), h. 96.
[28] Abu Husain Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi, Shaliih Muslim, jilid I,  (Beirut  Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, tth.), “bab Iman.”
[29] Yusuf Qardawi,............... Hal. 104.
[30] Yusuf Qardawi............... Hal. 114.
[31] Muslim, op.cit, h. 102
[32] Manna’ al-Qaththan, Mabahits   f i‘Ulum al-Qur’ant (Beirut Maktabah al-Risalah, 1993), Cet. XXIV, h. 197.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekilas Khutbah Jumat

 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Pada hari Jumat, para umat Muslim di seluruh dunia melakukan ibadah salat Jumat yang mana saat ...