MENGENAL MANHAJ,
THURUQ, ALWAN DAN QOWAID TAFSIR
Makalah ini Diberikan Sebagai Tugas Individual
pada Mata Kuliah
Studi Al Quran
Pembimbing:
Prof. Dr. Salman Harun, M.A
Dr. Ansori, M.A., Lc
Disusun oleh:
Jonson Harianto
Nim: 211101100014
PROGRAM MAGISTER
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2012
A. PENDAHULUAN
Al Quran sebagai jalan untuk memahami agama Allah yang
diajarkan kepada Nabi Muhammad saw, peran Al Quran adalah al bayan, dimana
untuk menjelaskan ajaran Allah. Dengan kalam inilah manusia akan samapai kepada
petunjuk Allah. Al Quran sebagai al bayan, ketika sampai pada pemahaman
manusia, itupun menimbulkan berbagai pemahaman, ini dipengaruhi oleh latar
belakang, budaya, bahasa, dan perdaban suatu kelompok masyarakat. Iniliah yang
dinamakan penafsiran, dan timbulah apa yang dinamakan ilmu tafsir. Ilmu tafsir
sendiri sudah mulai tumbuh sejak Zaman Rasulullah SAW.
Ketika rasulullah masih hidup, hak sepenuhnya
menafsirkan Al-Quran hanyalah rasulullah, para sahabat tidak berani sembarang
menafsirkan pemahaman, kalau nabi sendiri belum menyampaikannya kepada mereka. Ini
menunjukkan bahwa rasul sendiri, telah mempraktikkan ilmu tafsir dalam menyampaiakan
pemahaman Al-Quran kepada para sahabatnya.
Setelah wafatnya rasulullah, tafsir
al-Qur’an berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan
manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiapmasa
dan generasi menghasilakan tafsir-tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan
dan keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari hukum-hukum agama. ini pun melahirkan kaidah-kaidah, metode-metode
ataupun pendekatan-pendekatan yang dilakukan para mufasirin, sejak sahabat
sampai saat ini. Selanjutnya dengan keragaman pendekatan, metode atau kaidah
yang digunakanpun telah melahirkan tafsir yang beragam. Keragaman warna tafsir
ini dipengaruhi oleh latar belakang para mufasirin itu sendiri.
Dalam makalah ini akan sedikit mengulas tentang manhaj
(pendekatan), Thuruq (cara/metode), kaidah-kaidah dalam menfasirkan dan launul
altafsir (warna tafsir).
B. PEMBAHASAN
I.
Manhaj al Tafsir
Manhaj
berasal dari bahasa Arab yang artinya cara atau metode. secara terminology ialah
langkah yang ditempuh seorang mufassir dalam menjelaskan tentang makna, mengambil
makna dari teks, menghubungkan satu sama lain, melengkapi dengan atsar-atsar
yang berkaitan dengan masalah itu, dan menyampaikan hukum-hukum, nilai-nilai
dan ajaran-ajaran agama yang terkait di dalamnya. dipengaruhi dengan
kecenderungan, madzhab, pengetahuan dan karater mufassir. [1]
Manhaj tafsir merupakan kerangka yang digunakan para
mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an:
a. Tafsir bi al-Ma’tsur
Secara
harfiah tafsir bi
al-Matsur berarti penafsiran dengan menggunakan riwayat
sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini disebut juga dengan tafsir bi
al-riwayah yaitu penafsiran dengan menggunakan pengutipan riwayat. Penafsiran dengan pendekatan ini adalah menafsirkan
ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, Menafsirkan suatu ayat dengan pendapat para Sahabat dan ulama besar
dari kalangan Tabi'in yang berkaitan dengan penjelasan ayat, asbabunnuzul,
dan kepada siapa ayat tersebut diturunkan.
Penafsiran dalam riwayat dapat dibagi menjadi
empat bentuk, yaitu :
a. Penafsiran ayat
Qu’an dengan ayat lain
Ayat-ayat al-Qur’an menurut ahli
tafsir saling menafsirkan antar sesamamnya. Penafsiran ayat dengan ayat lainnya
bermacam-macam, yaitu:
Pertama, ayat-ayat atau ayat lainnya
menjelaskan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 1 surah
al-baqoroh, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya.
Kedua, ada informasi tertentu, misalnya
tentang kisah Nabi Musa as. pada surat tertentu
diungkapkan secara singkat, sementara pada surah yang lain secara
panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat
yang mengandung informasi yang lebih ringkas
Ketiga, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan
oleh ayat-ayat yang mubayyan,
ayat-ayat yang mutlaq ditafsirkan
oleh ayat-ayat muqoyyad, dan
ayat-ayat am ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khash.
Keempat, informasi yang terkandung dalam
satu ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada
ayat yang lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan
pengertian-pengertian tersebut.
b.
Penafsiran
ayat al-Qur’an dengan Hadits Nabi Saw.
Otoritas dalam penafsiran al-Qur’an terletak ditangan
Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an sendiri menjelaskan bahwa Nabi Muhammad adalah diutus
untuk menjelaskan wahyu al-Qur’an. Karena itu, hadits Nabi yang terdiri atas
perkataan, perbuatan dan ketetapannya dijadikan para mufasir sebagai rujukan
untuk menafsirkan al-Qur’an.
c. Penafsiran ayat
al-Qur’an dengan pendapat para sahabat
Setelah Nabi wafat, orang yang paling memahami
al-Qur’an adalah generasi sahabat, karena mereka hidup pada masa al-Qur’am
masih diturunkan, bergaul dengan Nabi yang paling faham dengan isi al-Qur’an,
serta pendapat-pendapat para sahabat dijadikan oleh para ulama tafsir sebagai
bahan penting dalam menafsirkan al-Qur’an.
d. Penafsirkan ayat
al-Qur’an dengan pendapat para tabiin
Para tabi’in adalah hidup dijazaman sahabat, sehingga
pendapat mereka sangat diperlukan bagi generasi berikutnya dalam menafsirkan
al-Quran.
Perkembangan
metode tafsir ini dapat dibagi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi Saw dan para sahabat disebarluaskan segi periwayatan; priode
tulisan, ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar
secara lisan mulai dibukukan.
Diantara kitab tafsir yang
menggunakan tafsir al-Matsur adalah :
1. Al-bayan fi tafsir al-Qur’an al-karim
, karya at-Thobari (W. 310 H)
2. Ma’alim At-Tanzil, karya
al-Baghowi (w.516)
3. Al-bayan fi tafsir al-Qur’an al-karim
, karya at-Thobari (W. 310 H)
4. Ma’alim At-Tanzil, karya
al-Baghowi (w.516)
5. Tafsir al-Qur’an Al-Azhim,
karya Ibn Katsir ( w.774 H)
6. Ad-Durr Al-Mantsur fi Tafsir bi Al Ma’tsur,
karya As-Auyuthi (w.991)
b.
Tafsir
bi al-Ra’yi
Tafsir
bi al-Ra’yi (penafsiran dengan rasio) adalah penafsiran yang dilakukan dengan
menetapkan rasio sebagai titik tolak. Tafsir ini dinamakan juga tafsir ijtihadi
yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena penafsiran dengan corak ini
didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.[2]
Menurut istilah, tafsir bi
al-ra’yi adalah upaya untuk memahami nash Al-Qur’an atas
dasar ijtihad seorang ahli tafsir (mufassir) yang memahami betul
bahasa Arab dari segala sisinya, mengerti betul lafadz-lafadznya dan dalâlahnya,
mengerti sya’ir-sya’ir Arab sebagai dasar pemaknaan, mengetahui betul asbâb
nuzûl, mengerti nasîkh dan mansûkh di dalam Al-Qur’an, dan
menguasai juga ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan seorang mufassir.[3]
Penafsiran
dengan pendekatan ini
didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufasir, perbedaan satu mufasir dengan
mufasir lain lebih mungkin terjadi,
dibandingkan
dengan tafsir al-Matsur. Karena alasan itu beberapa ulama menolak
penafsiran dengan
pendekatan ra’yi, dan menyebutnya dengan tafsir bil-hawa. Pendekatan ini ada yang menrima ada juga yang menolak.
Namun mereka tetap memiliki hujjah masing-masing. Tafsir model
ini dapat diterima sepanjang penafsirannya memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a.
Memiliki i’tikad
yang benar`dan mematuhi ajaran agama
b. Mempunyai
tujuan yang benar, artinya seorang penafsir dengan hasil karyanya harus
semata-mata bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
c. Seorang penafsir harus berpegangang pada
nalil Naqli dari Nabi, sahabat dan orang yang hidup sejaman dengan mereka, sera
harus menghindari segala yang berbau bidah.
d. Penafsir
harus menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan oleh penafsir. Kemudian penafsir
harus menjauhi, sikap terlau berani menduga-duga Allah dalam Kalam-Nya, memaksa
diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya,
menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu,menghindari penafsiran tanpa
alasan mengklaim bahwa itulah satu-satunya maksud Allah.5
Ayat-ayat
yang mengandung bolehnya
pendekatan ini ialah, sebagaimana dikutif Shubhi al-Shalih
terdapat pada surat Qs. Muhammad /
47:74dan QS. Shad/38:29
Meskipun
mufassir dengan pendekatan
ini melakukan
penafsiran berdasarkan pemikiran, namun ia tidak bebas mutlak. Mufassir harus
bertolak dari pemahamannya terhadap nilai-nilai yang dikandung al-Qur’an dan
Sunnah Nabi Saw. Mufasir
tetap selektif terhadap hadis shoheh dan hadis palsu.
Adapun beberapa kitab-kitab yang
menggunakan pendekatan
tafsir
bi al-ra’yi adalah:
1.
Madarik
al-tanzil wa haq’[iq al-Ta’wil (pengetahuan tentang al-Qur’an dan hakikat
Ta’wil) karya Mahmud al-Nasafi
2.
Anwar al-Tanzil
wa asrar al-Ta’wil (cahaya al-Qur-an dan Rahasia Takwil) karya al-Baidhawi
3.
Lubab al-Ta’wil
fi Ma’ani al-Tanzil (Intisari Takwil tentang makna al-Qur’an) karya al-khazin.
4.
Mafatih al-Ghaib
(Kunci keghaiban) karya Fakhr ad-Din al-Razi dan Ruh al-Ma’ani fi Tafsir
al-Qur’an wa al-Sab al- Matsani (Semangat Makna Tafsir al-Qur’an dan
al-Fatihah), karya al- alusi.6
c.
Tafsir bil Isyari
Kata
al-Isyari merupakan bentuk sinonom dari kata ad-Dalil yang berarti tanda, petunjuk, indikasi, iyarat, sinyal, perintah, panggilan, nasihat dan saran. Jadi tafsir bil-isyarah
adalah pena’wilan al-Qur’an dengan mengesampingkan (makna) lahiriah karena ada
isyarat tesembunyi yang hanya bisa diserap oleh orang-orang yang memiliki ilmu suluk atau
tasauf.7 Besar
kemungkinan ada upaya memadukan antara makna isyarat yang bersifat rahasia dan
makna lahir sekaligus. Tafsir bil Isyarah
ini biasa disebut tafsir bi ash-shufiyah
dan Tafsir bi al-bathiniyyah .
Beberapa pendapat yang
sangat tajam antar ulama tafsir tentang penyamaan tafsiral-isyari dengan tafsir
al- bathini, dikarenakan keduanya lebih mengutamakan makna-makna al-Qur’an
yang tersirat daripada makna-makna yang tersurat. Sebagian ulama yang
lainnya tidak sepakat untuk menyamakan
tafsir al-Isyarah dan at-tashawwufi dengan tafsir lainnya tidak
untuk menyamakan tafsir al-Isyarah dan at-tashawwufi dengan tafsir
al-bathin.
Alasannya
tafsir ash-Shuufiyyah sama sekali tidak menolak kehadiran makna lahir
al-Qur’an, bahkan mereka memperdalam makna lahir al-Qur’an sedenikian rupa
sehingga mereka berargumentasi bahwa satu hal penting yang mau tidak mau harus
diperhitungkan adalah orang yang mengklaim dirinya dapat memahami rahasia
al-Qur’an
Para penganut tafsir al-bathiniyyah
menolakmakna lahir al-Qur’an itu bukan makna yang dikehendaki oleh al-Qur’an
itu sendiri, karena yang dikehendaki diluar makna lahir dan karenanya pula
harus beralih kepada makna batin. Tafsir bil-Isyarah berdasarkan isi dan
substansinya terbagi menjadi dua yaitu ;
tafsir al-Isyarahal-Maqbul dan tafsir ail Isyarah al-Mardud. Dikatakan
tafsir ini bila diikuti dengan syarat; tidak menafikan makna lahir dari
makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur’an; mufassirnya tidak
mengklaim bahwa itulah satu-satunya penafsiran yang benar tanpa
mempertimbangkan makna tersurat; tidak menggunakan ta’wil yang jauh menyimpang
dan penakwilannya lemah; tidak bertentangan dengan dalil syariat dan
argumentasi aqli; serta adanya pendukung dalil-dalil syariat yang memperkuat
penafsirannya. Sebaliknya, dikatakan tafsir al-Isyari al-mardud bila
gaya penafsirannya menyalahi dari syarat-syarat penerimaan tafsir al isyari
di atas. H. Ahmad Izuddin berpendapat
bahwa tafsir al-Isyari tidak bisa diterima apabila, tidak meniadakan
makna lahirnya ayat al-Qur’an, tidak meyatakan makna isyarah itu merupakan
murad satu-satunya tanpa ada makna lahir, ta,wil tidak menyimpang jauh,
tidak bertentangan dengan syara’ dan akal, ta’wil dan isyarat tidak
menimbulkan ragu pemahaman manusia.8
Tentang penggunaan tafsir bil Isyarah dalam penggunaannya sebagaian ulama
membolehkan bahkan menganggapnya sebagai bagian dari kesempurnaan iman dan kesucian
pengetahuan seseorang, sebagian lainya memandang bahwa tafsir al-isyarah ini
merupakan tafsir aliran tafsir yang salah dan sesat, serta menyimpang jauh dari
agama Allah. Ibn Qoyyim al-Jawjiyyah mengatakan bahwa penafsiran al-Qur’an yang
dilakukan seorang mufassir, bersandar pada tiga; pertama tafsir yang
beroreantasi pada tiga; pertama tafsir yang beroreantasi pada lafal yang umum
dilakukan ulama Khalaf; kedua, tafsir yang mengacu pada makna ayat seperti yang
dilakukan ulama Salaf; ketiga, tafsir yang cendrung pada makan isyarah seperti
yang umum dilakukan oleh kalangan mutashawwifah.9
Kelebihan
tafsir al-isyarah adalah bahwa tafsir ini menunjukkan mufassirnya
termasuk orang yang sempurna imannya dan bersih pengetahuannya. Dikatakan demikian
karena para ulamanya memenuhi apa yang dikemukakan Ibn Al-Qoyyim al-Jawjiyyah, yaitu
tidak bertentangan dengan makna ayat, makna tersebut ada dan termuat dalam teks
ayat yang ditafsirkan, adanya isyarah dalam lafal Qur’an serta antara makna dan
penafsiran terdapat jalinan hubungan yang mengikat. Dan kelemahannya dan tafsirnya ini
mengutamakan intuisi (wijdan) sehingga sulit untuk membedakan mana yang
benar-benar ilham dari Allah dan mana yang merupakan kecendrungan hawa nafsu.¹0
II.
Thuruq Al-Tafsir
Pengertian
Thuruq Al-Tafsir (metodologi tafsir) adalah ilmu tentang metode penafsiran
Al-Qur’an. Dapat dibedakan antara metode tafsir dan metodologi tafsir. Metode
tafsir adalah cara-cara menafsirkan Al-Qur’an, sedangkan metodologi tafsir
adalah ilmu tentang cara penafsiran Al-Qur’an. Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai
metode muqarin (perbandingan), umpamanya disebut analisis metodologi. Namun
jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode terhadap ayat-ayat
al-Qur’an, hal itu disebut pembahasan metodik. Adapun cara penyajian atau
memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni menafsirkan. Jadi,
metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an, sedangkan seni atau tekniknya adalah cara yang dipakai
ketika menerapkan kaidah yang tertuang di dalam metode.
Metode-Metode dalam Tafsir
1.
Metode
Tahlili
Tafsir metode tahlili
adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna
dan aspek yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an.[4]
Metode tafsir dengan cara meneliti, menguraikan dan menganalisis, dimulai dari
uraian makna kosakata, kalimat, dan maksud setiap ungkapan kaitan antar pemisah
(munasabah) sampai sisi-sisi keterkaitan munasabah itu (wajhal munasabah)
dengan bantuan asbabun nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad
Saw, sahabat dan tabiin.
2. Metode
Ijmali (Global)
Secara lughowi, kata al-ijmali
berarti ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlah. Jadi tafsir ijmali
ialah penafsiran Al-Qur’an dengan cara mengemukakan isi dan kandungannya
melalui pembahasan yang panjang dan luas, tidak secara rinci. [5]
Para mufassir berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur’an dengan uraian singkat
dan bahasa yang mudah, sehingga dapat difahami oleh semua orang, mulai dari
orang yang berpengetahuan luas sampai orang yang berpengetahuan sekedarnya.[6]
Dalam menyajikan
makna-makna Al-Qur’an para mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil
dari Al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat
penghubung, sehingga memberi kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an melalui metode ini mufassir juga
meneliti, mengkaji dan menyajikan asbabun nuzul turunnya ayat dengan
cara meneliti hadits-hadits yang berhubungan dengannya. Pembahasan tafsir
ijmali ini hanya meliputi beberapa aspek dan dalam bahasa.
Metode Ijmali
adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara
mengemukakan makna global. Dengan metode ini mufassir menjelaskan makna
ayat-ayat Al-Qur’an secara garis besar. Sistematikanya mengikuti urutan
surah-surah Al-Qur’an, sehingga makna-maknanya dapat saling berhubungan. Dalam
menyajikan makna-makna ini mufassir menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil
dari Al-Qur’an sendiri dengan menambahkan kata-kata atau kalimat-kalimat
penghubung, sehingga member kemudahan kepada para pembaca untuk memahaminya.[7]
Kelebihan dari metode
ini adalah, praktis dan mudah difahami, bebas dari penafsiran Israiliyat, akrab
dengan bahasa Al-Qur’an. Kekurangannya yaitu, 1) Menjadikan petunjuk Al-Qur’an
bersifat parsila dan tidak utuh.2) Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis
yang memadai.
3. Metode Muqarran
(Perbandingan)
Metode tafsir muqarran
yaitu metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara mengambil sejumlah
ayat Al-Qur’an kemudian mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap
ayat-ayat itu, baik mereka termasuk ulama salaf maupun ulama hadits yang metode
dan kecenderungan mereka berbeda-beda, baik penafsiran mereka berdasarkan
riwayat yang bersumber dari Rasulullah SAW, para sahabat atau tabi’in (tafsir
bi al-Matsur) atau berdasarkan rasio (ijtihad, tafsir bi al-Ra’yi), dan
menggunakan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan
masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Kelebihan dalam metode
ini adalah, 1) Memberikan wawasan yang luas. 2) Membuka diri untuk selalu
bersikap toleran. 3) Dapat mengetahui berbagai penafsiran. 3) Membuat mufassir
lebih berhat-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Kekurangan yaitu, tidak
cocok untuk pemula, kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer, dan
menimbulkan kesan pengulanagn pendapat para mufassir.
4. Metode Maudhu’i
Tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul atau
topik tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya
selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya
dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.[8]
Menurut segi etimologis para ulama, metode tematik adalah menghimpun
seluruh ayat Al-Qur’an yang memiliki tujuan dan tema yang sama. Setelah
itu kalau mungkin disusun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan
sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah menguraikannya dengan
menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya diukur dengan
timbangan-timbangan teori akurat sehingga mufassir dapat menyajikan tema secara
utuh dan sempurna.[9]
Kelebihan dalam metode
ini adalah, 1) Dapat menjawab semua persoalan masyarakat sesuai dengan
kondisinya. 2) Lebih praktis dan sistematis. 3) Sangat dinamis. 4)
Menafsirkannya lebih utuh tidak secara parsial.
Kekurangannya adalah,
memenggal ayat Al-Qur’an dan membatasi pemahaman ayat.
III. ALWAN AT-TAFSIR
Pengertian Alwan
At-TafsirAl-launu yang bermakna corak atau warna, yaitu corak penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an. Seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an tentu akan
menggunakan corak atau warna tertentu dari penafsiran itu sendiri. Sedangkan
alwan macam-macam penafsiran, misalnya seorang
filosof dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an tentu banyak dipengaruhi
oleh corak atau warna menfasirkan dengan menggunakan rasio.
Macam-macam Alwan At-Tafsir
Dilihat
dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahlili
yang jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan bahwa paling tidak ada tujuh
metode tafsir, yaitu:[10]
1.
Tafsir
Fikih
Tafsir
al-Fiqh adalah tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian kepada fiqih
(hukum Islam). Karena itu, para mufassir corak ini
biasanya adalah ahli fiqih yang berupaya memberikan penafsiran ayat-ayat
Al-Qur’an dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan hukum Islam. Tafsir ini
muncul bersamaan dengan munculnya Tafsir bi al-Ma’tsur.
2.
Tafsir
al-Shufi
Tafsir al-Shufi adalah
tafsir yang ditulis para sufi. Sesuai dengan pembagian dalam ilmu tasawuf.
Yaitu tafsir yang diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf, baik
tasawuf teoritis (at-tasawuf an-nazzhari) maupun tasawuf praktis (at-tasawuf
al-amali). Tafsir shufi dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyimpangan dalam
tafsir, karena cenderung menjustifikasi teori-teori dan ajaran shufiyah yang
belum tentu benar adanya bahkan bertentangan dengan syariat Islam terutama
tasawuf falsafi atau teoritis.
Tafsir tasawuf memiliki dua macam, yaitu:
Tasawuf nadzari (teoritis), yaitu tafsir yang cenderung menafsirkan
Al-Qur’an berdasarkan teori atau paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan
makna lahir ayat dan menyimpang dari pengertian bahasa. Tafsir corak ini selalu
mengaitkan penafsirannya dengan teori tasawuf untuk mendukung teori tersebut.[11]
Tasawuf amali (praktis), yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an
berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh sufi dalam suluknya.
Jenis tafsir oleh para ahli tafsir disebut tafsir isyari bias diterima, dengan
syarat:
Tidak bertentangan dengan lahir ayat
Mempunyai dasar rujukan dari ajaran agama yang sekaligus berfungsi
sebagai penguatnya
Tidak bertentangan dengan ajaran agama dan akal
Tidak menanggap bahwa penafsiran model itu yang paling benar sesuai
dengan kehendak Tuhan.
Dari sini dapat diketahui
bahwa karakteristik tafsir shufi adalah dengan manhaj isyari atau
isyarat-isyarat bathiniyah dengan corak teori dan perbuatannya dalam dunia
tasawuf (pengalaman spiritual).
3.
Tafsir
al-Falsafi
Tafsir al-Falsafi adalah
tafsir yang membahas persoalan-persoalan filsafat, baik yang menerima
pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang berkembang di dunia Islam seperti Ibn
Sina dan Al-Farabi maupun yang menolak pemikiran filsafat itu. Dengan kata
lain, tafsir filsafat adalah tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yaang berkaitan dengan
persoalan-persoalan filsafat. Tafsir yang
bercorak filsafat, artinya dalam menjelaskan makna suatu ayat mufassir mengutip
atau merujuk pendapat para filosof. Persoalan perbincangan dalam suatu ayat
dimaknai atau di definisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat, makna
suatu ayat ditakwilkan sehingga sesuai dengan pandangan mereka. Hal ini seperti
penafsiran Ibnu Sina terhadap surah An-Nur ayat 35.
Corak rasional telah melahirkan berbagai nuansa tafsir bersamaan dengan
berkembangnya paham-paham dalam umat Islam. Kaum Mu’tazilah tampil dengan
menakwlikan ayat Al-Qur’an sesuai dengan teologi mu’tazilah. Begitu juga dengan
teologi yang lainnya.
Dalam tambahan penjelasan Quraish Shihab, corak tafsir falsafi
dipengaruhi dari pemahaman atau teori filsafat dan penerjemahan karya-karya
filsafat, masuknya pemikiran agama-agama lain yang menimbulkan pendapat setuju
atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.[12]
4.
Tafsir
al-Ilmi
Tafsir al-Ilmi adalah
penafsiran Al_Qur’an dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan. Ayat-ayat
Al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan corak ini terutama adalah ayat-ayat
al-kawniyyah (ayat-ayat yang berkenaan dengan kejadian alam).
Tafsir al-Adabi
al-Ijtima’i
Menurut Muhammad Husain
al-Dzahabi, tafsir al-Adabi al-Ijtima’i adalah corak penafsiran yang
menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang
disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya
Al-Qur’an. Lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial.[13]
IV.
QAWAIDH AL-TAFSIR
A.
Pengertian Kaidah-Kaidah Tafsir
Qowaid Al-Tafsir merupakan kata
majemuk; terdiri dari kata qowaid dan kata tafsir. Qowaid secara etimologis,
merupakan bentuk jamak dari kata qoi’dah atau kaidah dalam bahasa Indonesia. Kata qo’idah sendiri, secara semantik,
berarti asas, dasar, pedoman, atau prinsip”[14]
Secara etimologis, tafsir berarti
menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah, tafsir
ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an,
makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri
atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan
tersusun. [15]
Secara terminologis terdapat banyak
difinisi yang di ungkap oleh para ahli, seperti Syaikh Az-Zarqani yang
mengungkapkan bahwa tafsir adalah “suatu ilmu yang membahas perihal
Al-Qur’an dari segi dalalahnya sesuai maksud Allah ta’ala berdasar kadar
kemampuan manusiawi”.[16]
Begitu pula imam Al-Qurtubi yang
mengatakan, tafsir adalah penjelasan tentang lafadz”.
Sedangkan As-Suyuti yang dikutip
Al-Dzahabi mendefinisikan tafsir dengan “ ilmu yang membahas maksud Allah
ta’ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu
yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna”[17]
Jadi bila dirangkai dalam satu
definisi kedua kata diatas, maka kaidah-kaidah tafsir dapat diartikan sebagai
pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas
petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.
B. Macam-Macam
Kaidah-Kaidah Tafsir
1.
Kaidah Untuk Yang Ditafsirkan
Al-Qur’an yang berisi hukum hukum
syara’ merupakan sumber kebahagiaan yang
abadi, ia adalah tali yang kokoh dan jalan yang lurus, ia sangat sulit
menjadi petunjuk kecuali mendapat taufiq dan hidayah dari Allah SWT.
Sehingga para sahabat r.a. disamping sebagai orang orang yang memiliki tingkat
kefasihan yang sangat tinggi juga sekaligus hati mereka secara langsung
menerima pancaran sinar kenabian, para sahabat r.a. banyak menjadikan Nabi SAW.
Sebagai sentra dan rujukan bertanya tentang hal-hal tidak mereka pahami bahkan
seringkali tidak jelas makna apa yang terkandung dan kemauan apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT. dalam Al-Qur’an yang agung.
Kemudian
tentang Ilmu Tafsir, menjadikan ilmu itu mulia disebabkan karena kemuliaan
objeknya, kemuliaan kandungannya serta ia sangat dibutuhkan, di segala tempat
dan zaman”.[18]
Dan manakala sesuatu yang dicari itu makin besar nilainya,
maka akan semakin dibutuhkan untuk suatu kajian yang sempurna tentang cara-cara
yang terbaik untuk mencapainya, tidak perlu disangsikan lagi bahwa apa yang
kita kaji dan kita bahas saat ini adalah suatu perkara yang sangat urgen dan
paling tinggi nilainya, bahkan merupakan pokok pangkal. Ketahuilah bahwa
Al-Qur’an yang agung diturunkan oleh Allah SWT. Sebagai petunjuk dan tuntunan
bagi makhluk-Nya. Kitabullah juga akan terus mengalirkan petunjuknya tentang
perkara perkara yang terbaik dan terlurus pada setiap waktu dan tempat.Allah
SWT. berfirman dalam QS. 17 :9 yang
artinya:
” Sesungguhnya Al Quran ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang
Lurus“
Karena itu, setiap orang berkewajiban mempelajari
kalamullah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Nabi SAW. Jika sedang
membaca puluhan ayat Al-Qur’an, mereka tidak akan melanjutkan kepada ayat
berikutnya sebelum mereka mengetahui kandungannya yang menyangkut keimanan,
ilmu dan amaliah. Dan berikutnya mereka menghubungkannya dengan kondisi dan
peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, mengimani semua doktrin aqidah dan
informasinya, serta meneliti mana yang termasuk ayat perintah dan larangan.
Selanjutnya, mereka menerapkannya pada semua peristiwa dan problema yang ada di
sekitarnya”.[19]
2.
Kaidah Untuk Mufassirin
Dalam upaya menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an
secara baik, diperlukan syarat-syarat khusus bagi seorang mufassir, baik yang
menyangkut kepribadian, kemampuan akademis maupun kemampuan teknis operasional
penafsiran, seperti syarat-syarat:
1. Seorang mufassir harus memiliki
kepribadian yang mulia, memiliki dasar- dasar keimanan yang mantap dan jiwa
yang bersih, Al-Qur’an hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang
mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam membaca baik di dalam maupun
di luar salat, selain itu harus disertai pula ketaqwaan kepada Allah SWT,
karena Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.
2. Seorang mufassir harus mengetahui
dan menguasai bahasa Arab, dan cabang- cabangnya, Ali Hasan Al-Aridl lebih
terperinci lagi dalam menyikapi kebutuhan seorang mufassir dalam berbahasa Arab
diantaranya ilmu Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu Ma’ani, ilmu Badi’ dan ilmu Qiraat”.[20]
3. Seorang mufassir harus pula
mengetahui pokok-pokok ulum Al-Qur’an, seperti asbabun nuzul, nasikh dan
mansukh, muhkam dan mutasyabihat, ilmu makki dan madani.
4. Seorang mufassir juga perlu
menguasai ilmu kalam (teologi),ushul Fiqih dan sebagainya. Melalui ilmu-ilmu
itu seorang mufassir dapat menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an
secara maksimal.
5. Tidak kalah pentingnya pula seoorang
mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an hendaknya mengambil rujukan atau
referensi dari tafsir-tafsir yang mu’tabar, untuk dianalisis secara kritis dan
dikomparasikan dengan tafsir-tafsir lainnya. Dengan langkah terakhir ini
diharapkan dalam penafsiran Al-Qur’an penuh ketelitian yang mendalam untuk
menghasilkan tafsir yang komprehensif”.[21]
3.
Kaidah Untuk Penafsiran
Kaidah-kaidah tafsir yang dimaksud
dalam pembahasan makalah ini adalah ketentuan-ketentuan atau prinsip-prinsip
yang ditetapkan oleh para ulama untuk dijadikan pedoman dalam menafsirkan
Al-Qur’an, atau suatu aturan yang dapat membantu seorang mufassir dalam
menafsirkan Kitabullah yaitu Al’Qur’anul Karim.
Ada beberapa macam kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an
yaitu :
a)
Kaidah Quraniyah
Kaidah Quraniyah ialah penafsiran
Al-Quran yang diambil oleh ulumul quran dari Al-Quran. Hal ini didasarkan atas
pernyataan Al-Quran bahwa pada dasarnya yang mengetahui makna Al-Quran secara
tepat hanyalah Allah. Dan berdasarkan petunjuk Al-Qur’an. “Kemudian,
sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. Menurut Ibn Katsir, model penafsiran
inilah yang terbaik.
Pandangan Ibn Katsir ini bisa
dinilai sebagai pendapat yang argumentatif, di mana antara satu ayat dengan
ayat lain saling berhubungan, sehingga dapat berfungsi sebagai tafsir bi
al-ma’tsur.
Beberapa
kaidah yang lazim digunakan ini antara lain:
b)
Kaidah yang berkaitan dengan
Am dan Khas [22]
Maksud kaidah ini jika satu nas
menggunakan redaksi yang bersifat umum, maka tidak ada pilihan lain selain
menerapkan nas tersebut, sekalipun nas itu turun untuk menanggapi suatu
peristiwa tertentu. Kaidah ini dipegangi oleh mayoritas ulama dengan
argumentasinya yang bervariatif. Misalnya . “Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”[23]
Menurut riwayat Abdullah, ayat ini turun untuk menanggapi suatu kasus pencurian
perhiasan yang dilakukan seorang perempuan bernama Tumah. Persoalan yang muncul
dalam hal ini, lafaz yang digunakan berbentuk istm mufirad yang di ta’rifkan
termasuk kategori lafaz umum. Jumhur ulama’ menerapkan langsung hukum tersebut
tanpa memandang latar belakang dan sabab al-nuzul karena lafaz tersebut
berbentuk umum.
Selain pendapat tersebut, ada ulama’
yang memberikan analisis berbeda, yaitu dengan mengetahui sebab nuzulnya
kemudian menganalisa unsur-unsur yang melingkupinya, baik kualitas peristiwa,
pelaku, tempat maupun waktunya. Mekanisme pendapat kedua ini lebih banyak
menggunakan metode qiyas, karena jika seandainya yang dikehendaki lafaz umum,
mengapa Tuhan masih menunggu peristiwa-peristiwa tertentu.
Dalam hal ini, Al-Zarkasyi
mengatakan boleh saja sebab itu khusus dan boleh juga sebaliknya.[24]
Kandungan suatu ayat yang memiliki keterkaitan dengan nama Allah menunjukan bahwa hukum yang terkandung berkaitan
dengan nama yang mulia. Misalnya: Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami
ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[25]
ayat tersebut merupakan lanjutan
ayat sebelumnya, mengenai dialog Tuhan dengan para malaikat berkenaan dengan
pengangkatan Adam sebagai khalifah di bumi. Terhadap upaya Tuhan yang demikian,
malaikat heran dan mengatakan: “Apakah Engkau akan menjadikan manusia sebagai
khalifah, padahal manusia sering membuat kerusakan dan saling membunuh?”. Untuk
membuktikan kemahatahuan Tuhan, Dia mengajar Adam nama-nama benda yang tidak
diketahui malaikat Ketidakmampuan malaikat dalam hal ini mengakui kemaha-tahuan
Tuhan, kesempurnaan hikmah-Nya dan membuktikan keterbatasannya.
c)
Kaidah yang bertalian dengan
mutasyabihat dan muhkamat
Dalam satu pengertian Al-Quran
semuanya muhkam, dalam pengertian lain semuanya mutasyabih, tetapi pada
pengertian lain lagi sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih.
Ungkapan yang menunjukkan semuanya muhkam adalah: “Allah telah menurunkan
perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)
lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada
Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat
Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya
seorang pemimpinpun. “[26]Maksud
muhkam, ayat-ayatnya tidak ada yang kontradiksi, semua perintahNya kembali
kepada kebaikan manusia dan semua laranganNya kembali kepada kejelekan. Argumen
lain yang menyatakan semuanya mutasyabih adalah: “Dia-lah yang menurunkan
Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang
muhkamaat[183], itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat[184].
Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat
yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”
Mutasyabih dalam hal kebaikan dan
kejujuran, petunjuk dan kebenaran dan lain-lain. Di samping hal itu juga ada
anggapan sebagiannya muhkam dan sebagian lainnya mutasyabih, sebagaimana dalam
penjelasan di dalam Al-Quran.Misalnya ada ayat yang menjelaskan kekuasaan
Allah, sedangkan apa yang Dia kehendaki terjadi dan apa yang tidak dikehendaki
tidak terjadi, Allah juga memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki tetapi
juga menyesatkan kepada orang yang dikehendaki.
Memahami mutasyabih itu harus
setelah memahami ayat-ayat muhkamat. Muhkamat adalah ummul kitab, sebagai
sesuatu yang pokok, sedangkan yang mutasyabih adalah sebagai cabang. Memahami
yang pokok harus terlebih dahulu dari pada memahami cabangnya.
Dengan demikian jika menafsirkan
suatu ayat mutasyabih, maka terlebih dahulu harus mengetahui ayat yang muhkam
sehingga mendapat suatu pengertian yang kongkrit dan mendapat keyakinan yang
mendalam tanpa adanya keragu-raguan.
Untuk memahami mutasyabih itu cara
mentakwilkannya harus dikembalikan pada muhkamnya. Apabila mufasir sudah
mendapat suatu pengertian yang positif dari ayat yang muhkam, maka ia harus
menyelidiki dan membahas ayat-ayat mutasyabih dengan berpedoman pada ayat-ayat
muhkam.
d)
Kaidah Sunnah
Berdasarkan penjelasan yang ada
dalam Al-Quran 16:44 dan 64, Muhammad sebagai Rasul yang datang untuk
menjelaskan ayat-ayat yang diturunkan Tuhan. Dengan demikian, maka Rasul
merupakan sumber penjelas tentang makna-makna Al-Quran. Beliau tidak
menafsirkan menurut akal pikiran tetapi menurut wahyu ilahi. Dalam
hal ini, Abd. Muin Salim menyatakan bahwa pada zaman Rasul ada dua sumber
penafsiran yaitu penafsiran yang bersumber pada wahyu al-Quran dan penafsiran
yang diturunkan kepada Rasul lewat Jibril tetapi bukan ayat al-Quran dan
kemudian dikenal dengan Sunnah. [27]
Kaidah yang dipergunakan di
antaranya ialah:
a.
Sunnah harus dipakai sesuai dengan petunjuk Al-Quran.[28]
Berdasarkan atas hadits Nabi sebagai
penjelas Al-Quran, secara logika penjelasan itu tidak boleh bertentangan dengan
Al-Quran sebagai materi yang dijelaskannya. Dengan demikian penjelasan Nabi
saw. selalu dalam kerangka Al-Quran. Hal itu terbukti dengan tidak ditemukannya
hadis sahih yang bertentangan dengan Al-Quran. Contoh: hadis Nabi yang
diriwayatkan Muslim dari Anas: “Sesungguhnya ayahku ayahmu di neraka” Nabi Saw.
mengemukakan sabda ini ketika menjawab seseorang yang menanyakan tempat
ayahnya.
Dalam hal ini Yusuf Qardawi
mengungkapkan bahwa ayah Nabi Saw. tidak masuk neraka disebabkan ia tidak
mempunyai dosa. Beliau hidup pada zaman Atra’i. Pendapat yang sahih mengatakan
bahwa beliau tidak dimasukkan di neraka. Jika diteliti mendalam, makna ayahku
di sini adalah pamannya, Abu Talib. Anggapan paman sebagai ayah dapat
dibenarkan sebagaimana diistilahkan di dalam Al-Quran, anak-anak Ya’kub kepada
orang tua mereka.[29]
Padahaldalam hal ini Isma’il adalah paman Ya’kub, tetapi Al-Quran mengungkapan
dengan kata ayah (orang tua).
Oleh karena itu tidak heran bahwa
Abu Talib adalah ahli neraka, sebab di dalam masa hidupnya belum menyatakan
beriman kepada Nabi. Hal dikuatkan oleh firman Allah pada Al-Quran. “Barangsiapa
yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu
untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka
sesungguhnya dia tersesat bagi dirinya
sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami
tidak akan meng’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” [30]
b.
Menghimpun hadits yang pokok bahasannya sama.[31]
Hadis yang dimaksud dalam hal ini
adalah hadis yang sahih. Dengan cara mengembalikan kandungan yang mutasyabih
kepada yang muhkam, mengkaitkan yang mutlak kepada yang muqayyad dan
menkhususkan yang umum.
Dengan demikian akan didapatkan
suatu pemahaman yang benar dan utuh berdasarkan suatu ketetapan, bahwa hadis
berfungsi menafsirkan Al-Quran dan menjelaskan maknanya, menjelaskan makna
globalnya, menjelaskan makna yang belum terungkap dan lain sebagainya.
e)
Kaidah Bahasa
Al-Quran diturunkan dalam bahasa
Arab.[32]
Tidak ada jalan lain bagi umat Islam untuk memahaminya kecuali diperlukan
adanya penguasaan terhadap bahasa Arab. Di antara kaidah-kaidah yang harus
dipahami ialah:
a.
Dhamir dalam kaidah ini terdapat beberapa aturan, antara
lain:
v Dhamir pada dasarnya untuk
mempersingkat perkataan dasarnya untuk mempersingkat perkataan, dan berfungsi
untuk menggantikan penyebutan kata-kata yang banyak dan menempati kata-kata itu
secara sempurna tanpa merubah makna yang dimaksud dengan tanpa pengulangan.
Misalnya :
Dalam
ayat: QS:
6 : 112 : ... يوحي بعضهم الي بعض
Dhamir
hum menggantikan kedudukan kata-kata :...شيطين الانس والجن... yang
ada pada sebelumnya dan jika disebut akan memperbanyak sampai 20 kali.
v Dhamir harus mempunyai marji’ untuk
tempat kembalinya
Contoh:
pada ... يوحي بعضهم الي بعض ...
Kata
kembali pada kata ...شيطين الانس والجن...
Menurut
asalnya dhamir itu kembali pada sebutan yang paling dekat. Contoh QS: 6: 112:
Obyek pertama yaitu “ Sya-yathinal insyi wal jinni” diakhirkan
supaya dhamir “Hum” dari kata “Yuhi ba’dhuhum” Dapat
dikembalikan kepadanya secara dekat.
b.
Al-Ta’rif dan Al-Tankir
Apabila terjadi pengulangan isim,
maka akan bisa terjadi empat kemungkinan yang masing-masingnya membawa
konsekwensi makna yang berbeda. Kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1)
Nakirah’Ma’rifah
Contoh
QS: 30: 54: Di dalam ayat tersebut ada lafaz “Dho’fin”
berulang sampai tiga kali, yang dimaksud dengan kata “Dho’fin” yang
pertama adalah nuthfah, yang kedua ialah anak-anak dan yang ketiga lemah di
masa usia lanjut. Dus, dalam konteksnya, nakirah yang pertama dan selanjutnya
memiliki makna yang berbeda.
2) Ma’rifah-Ma’rifah
Contoh
QS:1: 6-7: Yang pertama dima’rifatkan dengan “Al-Shiroth” dan lafadz “Shiroth” yang
kedua dima’rifatkan dengan idhafah kepada isim maushul dan kedua lafaz
tersebut mempunyai satu makna.
3) Nakirah-Ma’rifah
Contoh:
Qs. 73 : 15-16: Lafadz “Rasulan” pertama adalah nakirah pada lafadz
“Ar-Rasula” kedua yang ma’rifah, dalam hal ini pengertiannya sama
yaitu Nabi Musa As.
4)
Ma’rifah-Nakirah
Apabila
isim disebut dengan ma’rifah, lalu diulangi dengan nakirah, maka tidak boleh
dimutlakkan kepada ungkapan itu, tetapi harus melihat karinah-karinahnya.
Adakalanya karinah itu menunjukan adanya perbedaan makna. Contoh: Qs. 39 :
27-28: Lafaz “Al-Qur’ani” yang pertama ma’rifah dan “Qur’anan” yang
kedua nakirah.
c.
Tadzkir dan Ta’nis
Pada hakikatnya untuk tarats,
hurufnya harus tetap pada fi’ilnya (kata kerja). Kecuali apabila antara kata
kerja dan fa’il (subyek) nya terpisah. Ta’tanis lebih diutamakan tetap pada
kata kerja apabila subyeknya mu’annats haqiqi Sebaliknya, apabila subyeknya itu
muannats majazi, ta ta’nis lebih baik dibuang dari subyeknya. Contoh Qs.80
:33 dan apabila ism al-isyara-isyarai ada di antara khabar dan mubtada yang salah satunya mudzakkar (jenis
laki-laki) dan yang lain muannats (jenis perempuan), maka dhamrr atau ism
isyrah itu boleh dituliskan dalam bentuk laki-laki atau perempuan Contoh
tiap-tiap isim jenis tertentu, seperti manusia, binatang dan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi, Abdul Hayy.Metode Tafsir maudhu’i dan Cara Penerapannya.
Bandung: Pustaka Setia, 2002, Cet. Ke-1
_________ Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Matba’ah
Al-Hadarah Al-‘Arabiyah, Kairo, 1977.
Al-Qattan, Manna. Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beirut: Mu’assah al-Risalah: 1993.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Azra, Azumardi. Sejarah & ‘Ulum
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, Cet. Ke-3
Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2003. Cetakan II.
Dahlan, Abd. Rahman. Dalam Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1998.
Kadar, M. Yusuf. Studi Al-Qur’an. Jakarta: Amzah, 2010.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an.
Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Saleh, Ahmad Syukri. Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman. Jambi: Sulthan Thaha Press
bekerja sama dengan Gaung Persada Press
Jakarta, 2007.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan
Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Mizan: Bandung, 1999.
Suryadilaga, M. Alfatih, dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2005.
Syafe’i, Rahmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:
Pustaka Setia, 2006.
Syamsuddin,
Syahiron. Metode
Intratektualitas Muhammad Shahrur dalam Penafsiran Al-Qur’an dalam Studi Al-Qur’an
Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.
[2] Azumardi Azra. Sejarah
& ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 176.
[3] Husein
Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, (Al-Qâhirah: Maktabah Wahbab,
2003), Jilid 1, h. 183. Baca juga Khalid Abdurrahman Al-‘Ak, ibid. Lihat
juga karya Afaf Ali Najar, Al-Wajîz fî Manâhij al-Mufassirîn, (Al-Qâhirah:
Maktabah Al-Azhar), h.56.
[4] Azumardi Azra. Sejarah
& ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 173.
[5]
Ahmad Izzan. Metodologi Tafsir. Tafakur.
Hal-105.
[7] Azumardi Azra. Sejarah
& ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 185.
[8] Abdul Hayy Al-Farmawi, Mu’jam Al-Alfaz wa Al-A’lam
Al-Our’aniyah. Dar Al-‘Ulum, Kairo, 1968, hal. 52.
[9] Abdul Hayy
Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya. Bandung:
Pustaka Setia, 2002, Hal 44.
[10] Azumardi Azra. Sejarah
& ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 174.
[13] Azumardi Azra. Sejarah
& ‘Ulum Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Cet. Ke-3. Hal. 184.
[14] Supiana-M.
Parman, Ulum ul Qur’an, (Bandung : Pustaka Islamika, 2002) h.273.
[15] Dr.’Ali Hasan
Al-‘Aridl, Sejarah dan metodologi tafsir,( Jakarta :
[16] Muhammad
Abdul Azhim Az-Zarqani, Manahil Al-Irfa ‘Ulum Al-Quir’an, ( Makkah
Al-Mukarramah: Maktabah nazar Mustofa,TT,) h.6
[19]
Abdurrahman Nashir As-Sa’di, , terjemah :Marsuny Sasaki dan Mustahab Hasbullah,
Kaidah Penafsiran Al-Qur’an,(Jakarta: Pustaka
Frirdaus, 1980) hal. 3
[20]
Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah …, h.4
[21]
Supiana-M. Karman, Ulum ul Qur’an …,h.276
[22]
Abd al-Mun’im al-Namr, ‘Ulum al-Qur’an al-Karim (Beirut Dar Kitab al-Lubnan,
1983), h. 100-101
[23] Qs. 5:38
[24] Badr al-Din
Muhammad ibn ‘Abduliah al-Zarkasyi, al-Burhan fi’Ulum al-Qur’an, Jilid I
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, tth.), h. 23.
[27]
Yusuf Qardawi, Studi Kritis as-Sunnah, terj. Bahrun Abu Bakar, Cet I (tth.:
Trigenda Karya, 1995), h. 96.
[28] Abu Husain
Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi, Shaliih Muslim, jilid I, (Beirut Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, tth.), “bab Iman.”
[29] Yusuf
Qardawi,............... Hal. 104.
[30] Yusuf
Qardawi............... Hal. 114.
[31] Muslim, op.cit,
h. 102
[32]
Manna’ al-Qaththan, Mabahits f i‘Ulum al-Qur’ant
(Beirut Maktabah al-Risalah, 1993), Cet. XXIV, h. 197.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar