Penulis
Jonson Harianto, S.Pd.I
(disampaikan dalam kuliah S2 PAI UIN Jakarta)
A. PENDAHULUAN
Kurikulum memiliki kedudukan
yang strategis dalam pendidikan. Berangkat dari sini bahwa pengembangan
kurikulum harus dengan memperhatikan alasan-atau landasan yang kuat.
Selanjutnya bahwa dalam mengembangkan kurikulum, terlebih dahulu harus diidentifikasi
dan dikaji secara selektif, akurat, mendalam dan menyeluruh landasan apa saja
yang harus dijadikan pijakan dalam merancang, mengembangkan dan
mengimplementasikan kurikulum. Dengan landasan yang kokoh kurikulum yang
dihasilkan akan kuat, yaitu program pendidikan yang dihasilkan akan dapat
menghasilkan manusia yang terdidik sesuai dengan hakekat kemanusiaannya, baik
untuk kehidupan masa kini maupun menyongsong kehidupan jauh ke masa depan yang
akan datang.
Penggunaaan landasan yang tepat
dan kuat dalam mengembangkan kurikulum tidak hanya diperlukan oleh penyusun
kurikulum ditingkat pusat (makro), akan tetapi terutama harus dipahami dan
dijadikan dasar pertimbangan oleh para pengembang kurikulum ditingkat
operasional (satuan pendidikan) yaitu guru, kepala sekolah, pengawas pendidikan
dewan pendidikan atau komite sekolah dan para guru serta pihak-pihak lain yang
terkait (stacke holder).. Landasan
Filosofis Pendidikan Nasional Tujuan pendidikan Nasional di Indonesia tentu
saja bersumber pada pandangan dan cara hidup manusia Indonesia, yakni
Pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia harus membawa peserta
didik agar menjadi manusia yang berpancasila. Dengan kata lain, landasan dan
arah yang ingin diwujudkan oleh pendidikan di Indonesia adalah yang sesuai
dengan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri. Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional merumuskan, “Pendidikan nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.
Dengan diterapkannya kebijakan
pemerintah yaitu pengembangan kurikulum operasional dilakukan disetiap satuan
pendidikan dengan program kurkulum KTSP, maka seluruh jajaran disetiap satuan
pendidikan harus memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang landasan kurikulum,
dan secara operasional harus dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan
kurikulum disetiap satuan pendidikan yang dikelolahnya.
Robert S Zais (1976
mengemukakan empat landasan pokok ) pengembangan kurikulum, yaitu; ”philosophy
and the nature of knowledge, society and culture, the individual, and learning
theory”.[1]
Dengan berpedoman pada empat landasan tersebut, maka perancangan kurikulum
yaitu pengembangan tujuan (aims, goals and objective), pengembangan isi
(content), pengembangan proses pembelajaran (learning activities), dan
pengembangan komponen evaluasi (evaluation), harus didasarkan pada landasan
filosofis, psikologis, sosiaologis serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan yang dipilih untuk
dijadikan dasar pijakan dalam mengembangkan kurikulum sangat tergantung atau
dipengaruhi oleh pandangan hidup, kultur, kebijakan poltik yang dianut oleh
negara dimana kurikulum itu dikembangkan.
Dengan diterapkannya kebijakan pemerintah
(Depdiknas) yaitu pengembangan kurikulum operasional dilakukan oleh setiap satuan
pendidikan dengan program Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), maka seluruh jajaran di setiap satuan pendidikan
harus memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang landasan pengembangan kurikulum,
dan secara operasional harus dijadikan rujukan dalam
mengimplementasikan kurikulum di setiap satuan
pendidikan yang dikelolanya.
Dalam pengembangan
kurikulum, pentingnya memperhatikan landasan yang akan mendasari suatu
kurikulum. Seperti yang kita kenal, ada beberapa landasan yang mendasari sebuah
kurikulum. Pertama landasan Filosofis, yang merupakan landasan utama untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan nilai-nilai moral yang
dianut masyarakat Indonesia, sebagaimana yang digambarkan dalam pancasila dan
diharapkan dalam undang-undang dasar 1945. Kedua adalah landasan Psikologis,
ini merupakan alas an bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan karakter,
pemenuhan kebutuhan indvidu dalam belajar, dimana kurikulum dapat diterapkan
tanpa melupakan factor perkembangan individu dan keragaman cara belajar seorang
individu terhadap pengalaman yang akan didapatnya nanti dalam pendidikan.
Ketiga adalah landasan sosiologis, bahwa kurkulum nantinya menjadi sebuah
solusi dalam pemenuhan individu yang diahrapakan berguna di dalam kehidupan
masyarakat.
B. PEMBAHASAN
Pengembangan Kurikulum
Pengembangan
kurikulum adalah tindak lanjut dari permasalahan-permasalahan yang ada pada
pendidikan, dengan adanya upaya pengembangan ini akan meminimasir
gav/ketimpangan antara konsep tujuan pendidikan dengan apa yang dipraktekkan
dilapangan.
Rentangan Kegiatan (Range of Activity) Pengembangan isi kurikulum biasanya diawali dengan rancangan
kebijakan kurikulum, rancangan bidang
studi, program pembelajaran, unit pengajaran, dan rencana pembelajaran.
Kebijakan kurikulum merupakan otoritas pemegang kebijakan pendidikan. Kebijakan
kurikulum memuat tentang apa yang harus diajarkan dan berfungsi sebagai pedoman
bagipara pengembang kurikulum lebih lanjut. Kebijakan kurikulum pada dasarnya
merupakan keputusan yang ditentukan dari hasil pemikiran dan penelitian yang
mendalam. Menentukan kebijakan kurikulum harus dilaksanakan secara hati-hati,
sebab akan memengaruhi berbagai kebijakan pendidikan lainnya. Misalnya,
mengenai isi dari setiap disiplin ilmu yang perlu dikuasai oleh anak didik
dalam jenjang tertentu, kebutuhan social macam apa yang harus dikuasai anak
didik serta pengalaman belajar yang bagaimana yang harus dimiliki anak didik.
Hal ini tentu saja didasari pada pengkajian yang komperensif. Rancangan program studi meliputi kegiatan-kegiatan
menentukan tujuan, urutan serta kedalaman materi dalam setiap bidang studi,
misalnya rancangan bidang studi matematika, bahasa, IPA, dan lain sebagainya.
Rancangan program pengajaran adalah kegiatan merancang aktivitas belajar
dalam setiap bidang studi untuk satu tahun, satu semester atau, satu
caturwulan. Program pengajaran tersebut selanjutnya dijabarkan pada rencana
pembelajaran, yang dirancang lebih khusus untuk jangka waktu tertentu. Bisa jadi program yang lebih khusus itu adalah program
pembelajaran untuk satu kali pertemuan dalam proses pembelajaran.
Pengembangan landasan
kurikulum diantaranya memperhatikan beberapa alasan dibawah ini yakni:
1. Studi tentang
hakikat dan nilai pengetahuan (studies of nature and vakue of knowledge)
sebagai aspek filosofis.
2.
Studi tentang siswa dan teori-teori belajar (studies of learners and learning
theory) sebagai aspek psikologi.
Gambar Peran landasan Kurikulum Selanjutnya bahwa peran landasan dalam pengembangan
adalah sebagai berikut:
1. Pengembang kurikulum pertama kali
harus memiliki pandangan yang jelas tentang hakikat ilmu pengetahuan dan
hakikat nilai (sebagai landasan filosofis).
2. Aspek psokologis yakni hakikat siswa dan bagaiman mereka belajar akan berkontribusi dalam
membangun suatu kurikulum (landasan psikologis).
Secara keseluruhan landasan tersebut akan menjadi
sumber bagi pengembang dalam menentukan keputusan tentang kurikulum yang akan
disusun. Berdasarkan keputusan, selanjutnya para pengembang dapat menentukan
keputusan tentang tugas-tugas kurikulum.
Ketika sumber-sumber menjadi landasan kurikulum dan
konsep kurikulum telah menghasilkan isi kurikulum itu sendiri, maka selanjutnya
kita dapat menentukan dari penjelasan di atas, makalah ini baru mengkaji dua
aspek landasan kurikulum yang menjadi faktor utama menentukan keberhasilan
pendidikan.
a.
Landasan Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam
pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita
dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme,
essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme.[2]
Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran
filsafat tertentu.
Pendidikan senantiasa berhubungan dengan
manusia apakan sebagai subjek, objek maupun sebagai pengelola. Menurut M.J Langeveld “pendidikan maupun
mendidik adalah suatu upaya orang dewasa yang dilakukan secara sengaja untuk
membantu anak atau orang yang belum dewasa dalam suatu lingkungan mengingat
pendidikan adalah suatu proses yang disengaja, tentu saja pendidikan adalah
bertujuan atau memliki tujuan yang harus dicapai”. Untuk mencapai tujuan
tersebut tentu saja harus ada isi atau bahan yang harus disampaikan, pendidik,
peserta didik ada proses interaksi pendidikan yang ditempuh untuk mencapai
tujuan, ada kegiatan evaluasi untuk mnetahui sejsuh mana hasil telah dicapai
melalui proses dan materi pendidikan yang diberikan. Jika dianalisis secara
lebih detail, ada enam unsure yang terlibat dalam proses pendidikan yaitu: 1)
tujuan pendidikan, 2) pendidik, 3) anak didik, 4) isi pendidikan, 5) alat
pendidikan, 6) lingkungan pendidikan. Keenam unsur tersebut masing masing
memiliki peran yang amat menentukan, dan oleh karenanya dalam merumuskan, mengembangkan
dan menentukan setiap unsure yang terlibat dalam proses pendidikan harus
dilakukan melalui berfikir mendalam, logis, sitematis dan menyeluruh
(filosofis).
Kurikulum sebagai suatu program
pendidikan, melalui pendekatan elektik (electic model) yang dikembangkan oleh
Robert S. Zais, menetapkan empat unsure kurikulum yaitu; Aims, Goals,
Objectives; content; learning Activities; Evaluation. Untuk merumuskan dan
mengembangkan setiap aspek dari keempat unsure kurikulum tersebut (pengembangan
tujuan, isi/materi, metode/proses, dan
pengembangan
evaluasi) harus dilakukan dengan mengembangkan jawaban-jawaban
atau pemikiran yang mendalam, logis, sistematis dan
komprehensif atau dengan kata lain alasan yang dirumuskan dengan menggunakan hasil pemikiran
filosofis. Misalnya
ketika merumuskan tujuan untuk pendidikan dasar, maka
sebelum tujuan dirumuskan paling tidak terlebih dahulu mengidentifikasi karakteristik usia
siswa pendidikan dasar, kebutuhan
dan
kemampuan rata-rata siswa pada usia pendidikan dasar, harapan orang tua dan masyarakat seputar
pendidikan anak pada usia pendidikan
dasar, harapan pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait (stake holder).[3]
Dari hasil identifikasi para perancang
kurikulum telah memiliki masukan
yang sangat berharga, dan kemudian diformulasikan dalam rumusan tujuan pendidikan dasar
yang dudasarkan pada berbagai masukan
yang telah diperoleh sebelumnya. Dengan demikian tujuan dirumuskan tidak
didasarkan pada pemikiran subjektif satu pihak saja, melainkan dirumuskan
secara matang setelah mengkaji berbagai masukan, baik masukan teoritis,
empirik, maupun hasil penelitian, atau dengan kata lain dilakukan melalui
proses berfikir secara filosofis. Demikian juga ketika mengembangkan
unsur-unsur kurikulum lainnya,
seperti pengembangan isi/materi, proses, dan pengembangan evalusai, dilakukan dengan
menggunakan metode yang sama.
Landasan
filosofis merupakan jawaban mendasar atas pertanyaan-pertanyaan :apa yang
menjadi tujuan pendidikan ? siapa pendidik dan terdidik ? apa isi pendidikan ?
bagaimana proses interaksi pendidikan?
Pembahasan
masalah adalam pengembangan kurikulum tidak terlepas dari ketiga istilah
filsafat dalam melihata masalah kehidupan yakni; ontology, epistimologi dan
aksiologi. Dalam ontologinya sekolah merupakan objek pengalaman realita yang
akan diterapkan langsung oleh pesrta didik baik itu benda mati, benda hidup
ataupun kondisi social di sekolah. Epistimologi merupakan proses dalam
pencapaian pengetahuan anak. Di sini guru merupakan sumber dan menjadi jaminan
bahwa apa yang diberikan kepada anak benar. Adapun aksiologi merupakan nilai
yang diharapkan. Berangkat dari permasalahan manusia yang berada pada tiga hal
yakni moral, estetik dan kehidupan social.[4]
b. Landasan Psikologis
Pendidikan merupakan proses
pemindahan nilai-nilai, ilmu dan keterampilan dari generasi ke generasi untuk
melanjutkan dan memelihara identitas masyarakat. Dalam pemindahan ini ada suatu proses, dalam proses
ini psikologi memegang peranan penting. Persoalannya adalah melalui pengajaran
atau melalui proses belajar. Dalam proses ini terjadinya interaksi guru dan
murid. Apalagi murid tidak sekedar menerima pengetahuan dan keterampilan dari
gurunya, tetapi ada proses aktif, dinamis dan kreatif. Namun untuk menciptakan
hal tersebut adanya usaha seorang guru yakni harus ada rangsangan untuk
belajar. Dan kurikulum harus mampu digunakan pada berbagai macam tingkat
perkembangan dan cara belajar individu.
Pada dasarnya terdapat dua cabang ilmu
psikologi yang berkaitan erat dalam proses pengembangan kurikulum, yaitu
psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan
ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan
perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat
perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas
perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan
individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan
mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang
mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar
mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek
perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum.
Pengembangan kurikulum perlunya
memperhatikan perkembangan psikologi peserta didik. Dalam hal ini karena
sekolah merupakan tempat bertemunya multi karakter dan tingkat perkembangan
yang berbeda-beda. Termasuk di dalamnya adalah psikologi belajar, dari sini
kurikulum harus mempertimbangan teori-teori belajar, hakekat belajar dan tujuan
dari bejaar tersebut. Psikologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang
mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkungan[5],
pengertian sejenis menyebutkan bahwa psikologi merupakan suatu ilmu yang
berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya
pada perilaku, ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa.[6]
Peserta didik merupakan individu yang
sedang berada dalam proses perkembangan (fisik, intelektual, sosial emosional, moral, dan
sebagainya). Tugas utama seorang guru sebagai pendidik adalah membantu untuk
mengoptimalkan perkembangan peserta didiknya berdasarkan tugas–tugas perkembangannya.
Dengan menerapkan landasan psikologi
dalam proses pengembangan kurikulum diharapkan dapat diupayakan pendidikan yang
dilaksanakan relevan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian dari segi
materi/bahan yang harus diberikan/dipelajari peserta didik, maupun dari segi
penyampaian dan proses belajar serta penyesuaian dari unsur–unsur upaya
pendidikan lainnya.
Karakteristik perilaku tiap individu
pada tiap tingkat perkembangan merupakan kajian yang terdapat dalam cabang
psikologi perkembangan. Oleh sebab itu, dalam pengembangan kurikulum yang
senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta
didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam proses
pengembangan kurikulum. Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada
umumnya diperoleh melalui proses belajar. Guru sebagai pendidik harus
mengupayakan cara/metode yang lebih baik untuk melaksanakan proses pembelajaran
guna mendapatkan hasil yang optimal, dalam hal ini proses pembelajaran mutlak
diperlukan pemikiran yang mendalam dengan memperhatikan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan diperlukan
terutama dalam hal penentuan isi kurikulum yang diberikan/dipelajari peserta
didik, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan
kelayakannya serta manfaatnya yang disesuaikan dengan tahap dan tugas
perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan sumbangan terhadap
pengembangan kurikulum terutama berkenaan dengan bagaimana kurikulum itu
diberikan kepada peserta didik dan bagaimana peserta didik harus
mempelajarinya, berarti berkenaan dengan strategi pelaksanaan kurikulum.
1. Psikologi Perkembangan dan Kurikulum
Anak sejak dilahirkan sudah
memperlihatkan keunikan–keunikan yang berbeda satu sama lainnya, seperti
pernyataan dirinya dalam bentuk tangisan dan gerakan–gerakan tubuhnya. Hal ini
menggambarkan bahwa sejak lahir anak telah memiliki potensi untuk berkembang.
Di dalam psikologi perkembangan terdapat banyak pandangan ahli berkenaan dengan
perkembangan individu pada tiap–tiap fase perkembangan.
Pandangan tentang anak
sebagai makhluk yang unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum
pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi tersendiri, memiliki perbedaan di
samping persamaannya. Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan
kurikulum, antara lain;
Tiap anak diberi
kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan kebutuhannya. Di samping disediakan pembelajaran
yang bersifat umum (program inti) yang harus dipelajari peserta didik di
sekolah, disediakan pula pembelajaran pilihan sesuai minat dan bakat anak. Kurikulum selain menyediakan bahan
ajar yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang bersifat akademik. Kurikulum memuat tujuan yang
mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan ketrampilan yang menggambarkan
keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan bathin.
Implikasi lain dari
pengetahuan tentang anak sebagai peserta didik terhadap proses pembelajaran
(actual curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut; Tujuan pembelajaran yang dirumuskan
secara operasional selalu berpusat pada perubahan tingkah laku anak didik. Bahan/materi pembelajaran yang
diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut
mudah diterima oleh anak.
Strategi
pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan tahap perkembangan anak. Media yang digunakan selalu menarik
perhatian dan minat anak didik, dan
Sistem
evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yang menyeluruh dan berkesinambungan dari
satu tahap ke tahap berikutnya dan dilaksanakan secara terus – menerus.
2. Psikologi Belajar dan Kurikulum
Merupakan suatu cabang
ilmu yang mengkaji bagaimana individu belajar. Belajar dapat diartikan sebagai
perubahan perilaku yang terjadi melalui pengalaman. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia belajar berasal dari kata ajar yang berarti suatu petunjuk yang
diberikan kepada orang supaya diketahui/diturut[4]. Segala perubahan
perilaku yang terjadi
karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Ngalim Purwanto menguraikan beberapa macam cara
penyesuaian diri yang dilakukan manusia dengan sengaja atau tidak disengaja,
dan bagaimana hubungannya dengan belajar. Seperti; belajar dan kematangan, belajar dan
penyesuaian diri, belajar dan pengalaman, belajar dan bermain, belajar dan
latihan, belajar dan pengertian.[7]
Psikologi belajar yang
berkembang sampai saat ini, pada dasarnya dapat dikelompokan menjadi 3 kelas,
antara lain;
a. Teori disiplin daya/disiplin mental
(faculty theory)
Menurut teori ini anak sejak dilahirkan
memiliki potensi atau daya tertentu (faculties) yang masing–masing memiliki
fungsi tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir, daya
mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan sejenisnya.
Potensi–potensi tersebut dapat dilatih agar dapat berfungsi secara optimal,daya
berpikir anak sering dilatih dengan pembelajaran berhitung misalnya, daya
mengingat dilatih dengan menghapal sesuatu. Daya yang telah terlatih
dipindahkan ke dalam pembentukan lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak
dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian pembelajaran dalam
konteks ini melatih anak didik dalam daya-daya itu, cara pembelajaran pada
umumnya melalui hafalan dan latihan-latihan.
b. Behaviorisme
Dalam aliran behaviorisme ini, terdapat
3 rumpun teori yang mencakup teori koneksionisme/asosiasi, teori kondisioning,
dan teori operant conditioning (reinforcement). Behaviorisme muncul dari adanya
pandangan bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan
individu dipengaruhi oleh lingkungan (keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat.
Behaviorisme menganggap bahwa perkembangan individu tidak muncul dari hal yang
bersifat mental, perkembangan hanya menyangkut hal yang bersifat nyata yang dapat
dilihat dan diamati.
Menurut teori ini kehidupan tunduk pada
hukum S – R (stimulus – respon) atau aksi-reaksi. Menurut teori ini, pada
dasarnya belajar merupakan hubungan respon – stimulus. Belajar merupakan upaya
untuk membentuk hubungan stimulus – respon seoptimal mungkin. Tokoh utama teori
ini yaitu Edward L. Thorndike yang memunculkan tiga teori belajar yaitu, law of
readiness, law of exercise, dan law of effect. Menurut hukum kesiapan
(readiness) hubungan antara stimulus dengan respon akan terbentuk bila ada
kesiapan pada system syaraf individu. Hukum latihan/pengulangan
(exercise/repetition) stimulus dan respon akan terbentuk apabila sering dilatih
atau diulang – ulang. Hukum akibat (effect) menyatakan bahwa hubungan antara
stimulus dan respon akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan.[8]
c. Organismic/Cognitive Gestalt Field
Menurut teori ini keseluruhan lebih
bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian.
Manusia dianggap sebagai makhluk yang melakukan hubungan timbal balik dengan
lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan respon.
Stimulus yang hadir diseleksi menurut tujuannya, kemudian individu melakukan
interaksi dengannya terus-menerus sehingga terjadi suatu proses pembelajaran. Dalam
hal ini guru lebih berperan sebagai pembimbing bukan sumber informasi
sebagaimana diungkapkan dalam pandangan koneksionisme, peserta didik lebih
berperan dalam hal proses pembelajaran, belajar berlangsung berdasarkan
pengalaman yaitu kegiatan interaksi antara individu dengan lingkungannya.
Belajar menurut teori ini bukanlah sebatas menghapal tetapi memecahkan masalah,
dan metode belajar yang dipakai adalah metode ilmiah dengan cara anak didik
dihadapkan pada suatu permasalahan yang cara penyelesaiannya diserahkan kepada
masing-masing anak didik yang pada akhirnya peserta didik dibimbing untuk
mengambil suatu kesimpulan bersama dari apa yang telah dipelajari.[9]
Ditambahkan
pula bahwa prinsip-prinsip maupun penerapan dari
organismic/cognitive gestalt field, antara lain;
-
Belajar berdasarkan keseluruhan
-
Belajar adalah pembentukan kepribadian
-
Belajar berkat pemahaman
-
Belajar berdasarkan pengalaman
-
Belajar adalah proses berkelanjutan
Adapun
hasan langgulung membagi teori-teori belajar kepada dua kategori, yakni;
1.
Teri belajar asosiasi (beradasarkan aliran behavioris
tradisonal)
2.
Teori belajar lapangan (salah satunya yang terkenal
adalah teori Gestalt).[10]
III. KESIMPULAN
Pengembangan kurikulum yang ada di
Indonesia, saat ini telah banyak mengalami perubahan. Banyak hal yang
dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum di suatu negara termasuk
Indonesia. Diantara landasan pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan
yaitu landasan filosofis dan
psikologi dalam pengembangan kurikulum.
Dalam
pengembangan kurikulum dalam landasan filosofis, pentingnya menjadikan
kurikulum yang terarah dan dan memiliki tujuan yang jelas akan dicapai. Bahwa
tujuan, proses dan nilai yang ingin ditanamkan adalah pembahasan yang
memerlukan proses berfikir yang tinggi. Di sinilah peran filsafat dalam
menerjemahkan masalah-masalh pendidikan yang akan disusun ke dalam sebuah
kurikulum.
Kedua
adalah
pengembangan kurikulum aspek psikologi patut dipertimbangkan, pada proses
pelaksanaan kurikulum faktor psikologi dari pebelajar perlu diperhatikan.
Psikologi yang dimaksud di sini, terdapat dua aspek psikologi antara lain;
psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Psikologi perkembangan memandang aspek
kesiapan peserta didik dalam proses pelaksanaan kurikulum, beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum perlu memandang dan
memperhatikan faktor psikologi perkembangan dari tiap-tiap peserta didik.
Psikologi belajar merupakan bagian dari
psikologi, yang mengkaji bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar, cara
dia menerima suatu rangsang/informasi sehingga terjadi suatu proses belajar.
Terdapat tiga bagian dari psikologi belajar, antara lain; teori disiplin
daya/disiplin mental (faculty theory), behaviorisme, dan organismic/cognitive
gestalt field.
Demikian
pemabahasan dalam makalah ini, masukkan dan kritik merupakan saran utama untuk
kami dalam memperbaiki makalah ini jadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin dan Idi
Abdullah,(2007), Filsafat Pendidikan
“Manusia, Filsafat dan Pendidikan”, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, Cet.I
Hasan Langgulung, Asas-asas
Pendidikan Islam (2008), Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru
Purwanto, Ngalim. Ilmu
Pendidikan Teoritis dan Praktis, (2007), Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. cet. XVIII
Pusat Bahasa Depdiknas. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (2005), Jakarta: Balai Pustaka. Edisi ketiga, cet. III
Sukarman, Dadang. Pengembangan
Kurikulum – electronic book Kurikulum dan Teknologi Pendidikan – UPI. (2007), Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI.
Syaodih, Nana, Pengembangan
Kurikum Teori dan Praktek, (1997), Bandung,P.T. Remaja Rosdakarya.
[1] Drs. Dadang Sukarman, M.Pd. Pengembangan
Kurikulum – electronic book Kurikulum dan Tekhnologi Pendidikan – UPI. Bandung:
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. 2007, h. 20
[2] Jalaluddin
dan Idi Abdullah,(2007), Filsafat
Pendidikan “Manusia, Filsafat dan Pendidikan”, Jogjakarta: Ar Ruzz Media,
Cet.I, h. 84
[3] Drs. Dadang Sukarman, M.Pd. Pengembangan
Kurikulum – electronic book Kurikulum dan Tekhnologi Pendidikan – UPI. Bandung:
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UPI. 2007, h. 19
[4] Jalaluddin dan Idi Abdullah, Filsafat Pendidikan “Manusia,
Filsafat dan Pendidikan”, ,(Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2007), Cet.I, h. 126
[5] Drs.
Dadang Sukarman, M.Pd. Pengembangan Kurikulum – electronic book Kurikulum
dan Tekhnologi Pendidikan – UPI. Bandung: Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan UPI. 2007, h. 20
[10] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Pustaka AL Husna Baru, 2008),
ce.VI, h.246-250
Tidak ada komentar:
Posting Komentar