PENDIDIKAN ISLAM



TRANSFORMASI IAIN MENJADI UIN
  1. PENDAHULUAN
Perguruan Tinggi Islam dijadikan sebagai wadah dalam memberdayakan umat Islam dalam aspek kehidupan mereka. Namun apakah akan menjadi satu aspek saja yang akan dihadapi dan diselesaikan umat Islam, sedangkan aspek kehidupan lebih luas dari yang kita pahami sebatas nilai agama atau pendidikan Islam sebagai membina generasi yang ahli agama atau beragama.
Dalam sejarahnya bahwa Sekolah Tinggi Islam merupakan upaya memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat akan pendidikan Islam. Tidak saja ini dianggap sebagai akomodir penguasa atas kelompok Islam. Bahwa dengan harapan adanya Sekolah Tinggi Islam mampu mewadahi peran dan keberadaan masyarakat muslim dalam aspek kehidupan yang beragam. Namun dalam perjalanannya, perubahan sosial, ekonomi, politik, pemahaman agama, pergeseran nilai dan pola hidup yang secara dinamis selalu berkembang. Hingga pada akhirnya sekolah tinggi Islam perlu peningkatan dan pengembangan ke arah yang lebih luas. Misalnya saja perubahan lembaga dari Sekolah TInggi menjadi Universitas Islam Indonesia, kemudian pengembangan fakultas agama menjadi naik statusnya yakni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Kemudian harapan masyarakat lainnya mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama di mana Mahmud Yunus menjelaskan bahwa hadirnya ADIA ini adalah untuk mendidik pegawai negeri dilingkungan kementrian agama dan untuk ahli agama.[1] Hingga akhirnya penyatuan antara STAIN dan ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan berkedudukan di Yogyakarta.
Memasuki era baru abad 21, tantang baru bagi IAIN menjadi Perguruan Tinggi Islam yang mampu menangkap tantangan global. Di mana pada abad ini menghadapi masyarakat yang semakin kompleks, perkembangan iptek yang semakin maju. Sehingga menuntut IAIN kembali untuk menerjemahkan tantangan dan peluang era abad 21 ini, ide itupun disuarakan yakni gagasan ingin mentrasformasi IAIN menjadi Universitas. Di awal memang ini ide besar dan akan membutuhkan perjuangan yang berat. Tentunya akan menghadapi pro kontra atas harapan IAIN menjadi UIN.
Berangkat dari berbagai permasalahan yang dihadapi Perguruan Tinggi seperti, berkurangnya minat masyarakat untuk memasukkan anaknya di program keagamaan, pola hidup masyarakat yang mengarah kepada kebutuhan ekonomi dan kerja, lulusan-lulusan program agama dianggap belum mampu bersaing dalam dunia kerja dan berbagai permasahan lainnya. Maka dari itu, untuk menjawab perubahan masyarakat global, dunia kerja dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mau tidak mau Perguruan Tinggi Islam harus pula meruba orientasi keilmuan dan mampu menangkap peluang era global. Gagasan IAIN untuk menjadi UIN adalah awal untuk menjadikan Perguruan Tinggi Islam mampu bersaing di era global.

  1. Sejarah IAIN
Dalam catatan sejarah, gagasan pendirian lembaga pendidikan Islam telah dimiliki umat Islam sejak zaman Belanda. Diawali oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo dengan mendirikan pesantren luhur tahun 1938 namun di akhirnya gagal karena intervensi penjajah Belanda. Tahun 1940 Persatuan Guru Agama Islam di Padang mendirikan Sekolah Islam Tinggi di Sumatera Barat dan bertahan sampai 1942. Beberapa tokoh nasional seperti M. Hatta, M.Natsir, K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Mas Mansur juga mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta Tahun 1945 di bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakar.[2] Masa revolusi kemerdekaan STI pindah ke Jogjakarta karena ibu kota pindah ke sana sampai tahun 1948 akhirnya berganti nama menjadi Universitas Islam Indoneisa (UII) dengan empat fakultas yakni hukum, agama, ekonomi dan pendidikan.[3]
Berdirinya sekolah tinggi Islam juga tidak terlepas dari kebijakan politik atas dua kelompok besar yakni nasionalis dan kelompok Islam. Jamhari menjelaskan bahwa sebagai upaya memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikan umat Islam atau mengakomodasi umat, pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dari Fakultas Agama di UII Yogyakarta dijadikan statusnya dengan nama PTAIN bertempat di Jojakarta dan sesuai dengan PP nomor 3 tahun 1950. Ini juga nantinyya jadi cikal bakal IAIN.[4]
Dalam perjalanan selanjutnya, sebagai upaya isntitusionalisasi pendidikan Islam dan mempersiapkan guru, tokoh dan pimpinan agama didirikan pula ADIA di Jakarta. Ini didirikan sesuai dengan Penetapan Menteri Agama RI No.1 Tahun 1950. Dengan Dekan pertama adalah Mahmud Yunus dan Bustami A. Gani sebagai wakilnya.[5] Mahmud Yunus menjelaskan bahwa Akademi Dinas Ilmu Agama didirikan guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik Agama pada sekolah-sekolah lanjutan (umum/kejuruan/Agama).[6]
Upaya pemerintah dalam mengintegrasikan sistem perguruan tinggi Islam dan peningkatan mutu pendidikan terwujud dalam penyatuan PTAIN dengan ADIA menjadi satu institusi yakni Institut Agama Islam Negeri “Al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah”. Upaya ini terlaksana setelah Presiden RI mengeluarkan PP No. 11 tahun 1960. Pembentukan ini juga mulai berlaku resmi pada tanggal 9 Mei 1960. [7]
Dalam peraturan pemerintah tersebut juga menjelasnya tetang tujuan adanya IAIN adalah untuk memperbaiki dan memajukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan pemerintah dan masyarakat.
Secara formal IAIN diresmikan tanggal 24 Agustus 1960 berdasarkan atas Penetapan Menteri Agama No. 35 tahun 1960, berkedudukan di Jogjakarta dan Prof. Mr. R.H.A Soenarjo sebagai Rektor, Wasil Aziz sebagai Sekretaris Senat, Prof. T.A. Hasby Ash Shiddieqy sebagai Dekan fakultas Syari’ah, Prof. Dr. Muchtar Yunus sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, Mahmud Yunus sebagai Dekan Tarbiyah, Bustami A. Gani sebagai Dekan Fakultas Adab. [8] 
Lahirnya Institut Agama Islam Negeri yang berpusat di Jogjakarta dan Fakultas Tarbiyah bertempat di Jakarta belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan akan pendidikan Islam bagi masyarakat nusantara yang notabene muslim. Hingga dibukalah cabang-cabang keilmuan Islam di daerah-daerah luar Jogjakarta dan Jakarta. Namun, semakin besar tuntutan pemenuhan umat Islam, ternyata tidak cukup dengan membuka cabang. Perlunya ada IAIN yang berdiri sendiri di daerah.
Sebagai upaya merespon kebutuhan umat Islam akan pendirian IAIN di daerah, lahirlah peraturan pemerintah No. 27 tahun 1963 yang memberi kesempatan untuk mendirikan IAIN dan terpisah dari pusat. Jakarta mendapat kesempatan pertama untuk mendirikan IAIN. Sehingga IAIN Jakarta adalah yang kedua setelah IAIN Jogjakarta.[9]    
Dalam perjalanan itu pula, berdiri IAIN  Ar-Raniry Banda Aceh tanggal 5 Oktober tahun 1964, IAIN Raden Fattah tanggal 22 Oktober 1963, IAIN Antasari Banjarmasin tanggal 22 November 1964, IAIN Sunan AMpel Surabaya tanggal 6 Juli 1965, IAIN Alaudin Ujung pandang 28 Oktober 1965, IAIN Imam Bonjong Padang 21 November 1966, IAIN Sultan Thaha Syaefuddin Jambi tahun 1967.[10]
Memasuki orde baru, pemerintah melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh Islam dan daerah-daerah yang memiliki semangat mendirikan IAIN. Fakultas yang masih merupakan cabang dari IAIN pusat dipromosikan menjadi IAIN sendiri. Di sini termasuk IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 28 Maret 1968, IAIN Raden Intan lampung tanggal 28 Oktober 1968, IAIN wali Songo Semarang tanggal 1 April 1970 dan IAIN Sultan Syarif Qosim Sumatera Utara tanggal 19 November 1973.[11]
Selama satu dekade, jumlah mahasiswa PTAIN semakin banyak. Mahasiswa itu tidak hanya datang dari seluruh tanah air, tetapi juga dari negara tetangga, terutama Malaysia. Berdasarkan perkembangan-perkembangan itu, dan pertimbangan lain yang bersifat akademis, pada 24 Agustus 1960 Presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan PTAIN dan ADIA dengan nama baru, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak saat itulah secara berturut-turut di beberapa wilayah propinsi Indonesia berdiri IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan tinggi dalam bidang Islam. Hingga saat ini terdapat 14 IAIN dan 35 STAIN yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.[12]

C.    Perubahan IAIN menjadi UIN
Sejarah panjang perguruan tinggi Islam di Indonesia, dari masa awal pendirian sekolah tinggi Islam, Universitas Islam Indonesia, kemudian yang tadinya fakultas agama di UII dinaikkan statusya menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam, diikuti pendirian Akademi Dinas Ilmu Agama sampai pada penyatuan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN.
Munculnya gagasan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia yakni transformasi IAIN menjadi UIN. Ada beberapa alasan yang diidentifikasi atas gagasan tersebut. Pertama, dengan bentuk institut, ruang lingkup hanya sebatas keilmuan dan pengkajian keIslaman saja. Kedua, wawasan mahasiswa dan dosen IAIN terbatas, berbeda halnya dengan universitas umum. Sehingga pengkajian Islam seolah terputus dari persoalan kontemporer yang aktual. Sehingga menuju transformasi lembaga tersebut menjadi harapan yang harus diwujudkan, agar kedua alasan tersebut dapat diselesaikan.[13]
Gagasan tersebut bukan berarti langsung terwujud, karena tetap saja harus melalui berbagai persyaratan, kesiapan pemenuhan kebutuhan IAIN menjadi UIN dalam berbagai aspek; misalnya kegiatan akademis akan lebih besar pengelolaannya, lahan yang harus diperluas, kebutuhan tenaga dosen dan pegawai administrasi dan berbagai persiapan lainnya. Sampai awal 1998, terdapat tiga IAIN yang mengajukan proposal yakni IAIN Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. [14]
Dalam pandangan Azyumardi Azra juga dikatakan (salah satu arsitek penting dalam proyek perubahan IAIN ke UIN) bahwa gagasan dan konsep dasar pengembangan IAIN menuju UIN tak lepas dari beberapa masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Pertama, IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. IAIN lebih banyak berperan di masyarakat karena dalam konteks dakwah. Kedua, kurikulum IAIN belum mampu merespon perkembangan IPTEK dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks.[15]
Alasan-alasan di atas menjadi bagian dari upaya untuk melakukan perubahan IAIN menjadi UIN, sehingga tidak hanya dominan pada orientasi dakwah akan tetapi juga untuk merespon dan menghadapi masyarakat baru dan semakin kompleks. Dorongan kuat terhadap perubahan ini juga dianggap untuk memperjelas institusi pendidikan Islam, Artinya IAIN dianggap sebagai lembaga dakwah atau lembaga pendidikan tinggi? Seperti halnya disampaikan oleh alm.Prof. Harsya W. Bachtiar (Guru Besar Universitas Indonesia) bahwa agar IAIN mengambil sikap tegas antara sebagai lembaga dakwah atau perguruan tinggi.[16]
Abuddin Nata mengungkapkan bahwa ada beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN.
Pertama, perubahan pada jenis pendidikan Madrasah Aliyah. Dulunya Madrasah adalah sekolah agama, kini madrasah sudah menjadi bagian dari sekolah umum atau sekolah yang berciri khas Islam. Di madrasah sudah terdapat mata pelajaran umum yang dimuat dalam kurikulumnya. Misalnya eksakta, sosial, bahasa dan fisika. Ini berbeda dengan kondisi IAIN yang masih menyediakan sekolah agama. Lulusan madrasah akan merasa kesulitan untuk masuk UIN. Di samping itu konversi ini juga untuk menyambut tamatan sekolah menengah umum dapat masuk IAIN apabila telah menjadi UIN, karena dapat menyediakan jurusan dan fakultas umum. Perubahan ini juga merupakan misi untuk pemberdayaan masyarakat/umat di masa depan. [17]
Kedua, adanya dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Masalah dikotomi ini solusinya adalah program integrasi ilmu pengetahuan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan anggapan bahwa kalau IAIN hanya menyelenggarakan ilmu-ilmu agama. Ini akan melestarikan dikotomi tersebut.[18] Maka dengan ini IAIN harus menjadi UIN untuk dapat mendirikan fakultas-fakultas umum.
Ketiga, perubahan IAIN menjadi UIN merupakan peluang bagi para lulusan untuk memasuki lapangan kerja yang lebih luas.[19] Selama ini, arah lulusan IAIN adalah lembaga pendidikan Islam, kegiatan kegiatan keagamaan, dakwah dan pada tataran departemen agama. Mmaka dengan perubahan menjadi UIN akan lebih meluas lingkup kerja dan eksistensi lulusan IAIN.
Dengan perubahan menjadi UIN juga sebagai upaya konvergensi ilmu umum dan agama, seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution bahwa perubahan IAIN menjadi universitas dirancang untuk menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan.[20]
Keempat, perubahan IAIN menjadi UIN adalah dalam rangka memberikan peluang bagi lulusan IAIN untk melakukan mobilitas vertical. Yakni kesempatan gerak dan peran dan memasuki medan yang lebih luas. Lulusan IAIN akan memasuki wilayah dan lingkungan yang lebih luaus, bervariasi dan bergengsi. Perubahan ini juga ingin kembali menaruh harapan umat Islam menjadi pelopor peradaban manusia yng dulu pernah dicapai Islam zaman klasik.[21]
Kelima, perubahan IAIN menjadi UIN juga merupakan tuntutan akan penyelenggaraan pendidikan yang professional, berkualitas tinggi dan menawarkan banyak pilihan. Apalagi dengan sambutan arus globalisasi yang melahirkan lingkungan persaingan dan kompetisi. Sehingga IAIN dengan menjadi UIN merupakan bagian dari upaya menghadapi tantangan dan menangkap peluang.
Gagasan menuju universitas bukan tidak menghadapi tantangan ataupun pro kontra di kalangan muslim maupun para tokoh Islam. Tantangan permasalahan bukan tidak ada, akan tetapi semenjak ide perubahan lembaga tersebut disuarakan banyak menuai kritikan dan pertanyaan. Menurut Abuddin Nata bahwa ada beberapa permasalahan yang muncul baik itu terkait dengan legal formal, kelembagaan, filosofis, histori, psikologis dan bahkan politis. [22]
Ia menjelaskan bahwa dari segi legalitas, penambahan fakultas-fakultas umum atau non agama akan terbendung dengan PP No. 60 Tahun 1999, ada yang ditekankan dalam peraturan tersebut yakni institut. Istititut yang dijelaskan dalam peraturan tersebut adalah lembaga pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dalam satu kelompok bidang studi tertentu, seperti kelompok bidang studi agama saja, hukum saja, pertanian saja dan seterusnya. Masalah berikutnya adalah kelembagaan, setelah perubahan IAIN menjadi Universitas apakah kelembagaannya berada di bawah naungan departemen Agama atau berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Persoalan lain yang muncul adalah latar belakang filosofis-historis. Di mana IAIN memiliki akar filosofis visi dakwah dan pengkajian keIslaman. Adanya kekhawatiran tokoh Islam akan dihapuskannya hasil perjuangan pendahulu mereka atas IAIN. Sisi lain juga ada masalah yang timbul dengan perubahan IAIN menjadi UIN yakni masalah yang bersifat politik. Di mana berdirinya IAIN tidak terlepas dari bentuk akomodir dan penghargaan pemerintah atas peran dan kontribusi umat Islam dalam perjuangan bangsa ini.[23]
Beberapa tokoh lain menanggapi secara beragam ketika ide IAIN menjadi UIN. Misalnya saja mantan menteri Agama Munawir Syazali. Menurutnya pendirian IAIN adalah untuk menciptakan sarjana Agama. Maka apabila ada perubahan lembaga, ia tidak tahu apa arah perubahan tersebut. Bila alasan Islamisasi ilmu, bukannya ilmu pengetahun bersifat netral. Karenanya tidak perlu Islamisasi. Munawir Syazali juga mempertanyakan apakah setelah perubahan lembaga tersebut menghasilkan output yang semakin baik. Ia juga membandingkan kualitas mahasiswa IAIN juga masih kurang. [24]
Selain itu juga gagasan transformasi tersebut dikomentari senada oleh KH. Ma’ruf Amien (Ketua Syuriah PBNU). Ia juga tidak setuju dengan adanya perubahan IAIN menjadi UIN Menurutnya IAIN tetap saja focus pada pendidikan khusus masalah agama. Lain halnya pendapat yang di sampaikan oleh Din Syamsuddin dan Tutti Alawiyah bahwa IAIN sudah waktunya berubah menjadi UIN, karena untuk menangkap tantangan dan peluang di masa yang akan datang. [25]
Dalam perjalanannya, transformasi perguruan tinggi Islam menjadi Universitas juga tidak dapat dihindari, apalagi setelah berhasilnya IAIN Jakarta dan Jogjakarta menjadi UIN. Disusul dengan IAIN di daerah lain. Seperti UIN Bandung, UIN Malang, UIN Alaudin Makasar.
Perubahan tersebut juga tidak terlepas dari harapan untuk menjawab tantangan dan peluang yang dihadapi perguruan tinggi Islam di Indonesia. Beberapa tanggapan di atas dan permasalahan di atas, setidaknya dapat diatasi apabila setiap IAIN memilki kesungguhan dan itikat baik untuk menjawab perubahan tersebut. Perubahan menjadi UIN adalah salah satunya untuk memperluas peluang dan kesempatan lulusan UIN dalam dunia global. Dalam aspek keilmuan, bahwa sudah pantas kalau perubahan UIN adalah upaya Islamisasi ilmu pengetahuan, integrasi ilmu umum dan agama. Ditambahkan oleh Din Syamsudin bahwa, dengan perubahan menjadi UIN adalah upaya perguruan tinggi Islam dalam mengintegrasikan nilai Islam dan etika dalam ilmu pengetahuan.[26]
           
D.    Penutup
Demikian makalah ini, sedikit mengulas terkait perjalanan dan transformasi IAIN menjadi UIN. Namun menjadi pertnyaan nantinya, bagaimana ruh perjuangan UIN. Tentunya berbeda dengan ruh perjuangan IAIN didirikan.  Bagaimana nati UIN mampu menangkap perubahan masyarakat global dan menciptakan sarjana yang diharapkan inklusif dalam keagamaan dan keilmuan serta sain. Dalam persoalan internal pun, bagaimana nanti nasib fakultas agama yang semakin ke sini dilihat kurang pamornya, bahkan promosinya lebih kepada fakultas umum. Apakah nanti fakultas agama yang sudah menjadi ruh perjuangan awal didirikan IAIN menjadi mengerucut dan bahkan menjadi satu fakultas. Setidaknya pertanyaan pemakalah ini, menjadi permasalahan yang harus dipecahkan.

 DAFTAR PUSTAKA

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008)
 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta; Rajawali Press, 2010
Nata, Abuddin  (et.al.), Dari Ciputat, Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002)
 ____________ (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001)
____________, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
Rahim, Husni , IAIN dan Masa depan Islam Indonesia dalam situs http://ditpertais.net/husni.htm
Kusmana dan Munadi, Yudi  (ed.), Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ciputat: Jakarta UIN Press, 2002)


[1]  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008), cet. Iii, hal.447
[2]  Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta; Rajawali Press, 2010), hal 314-315
[3]  Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002), hal.13
[4] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.13
[5] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.14
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan …, hal.447
[7]   Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.14
[8] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.17
[9] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.18
[10]  Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.13
[11] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.18
[12] Husni Rahim, IAIN dan Masa depan Islam Indonesia dalam situs http://ditpertais.net/husni.htm dikutip tanggal 5 Desember 2012 pukul 16.38.
[13] Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo, 2001), hal.246-247
[14] Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan…, h. 247
[15] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.23
[16] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.23
[17]  Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 5 hal.56
[18] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…,cet. 5 hal.58
[19] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…., cet. 5 hal.59
[20]  Kusmana dan Yudi Munadi (ed.), Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ciputat: Jakarta UIN Press, 2002), hal.28
[21] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…, cet. 5 hal.60
[22]  Abuddin Nata, Manajemen  Pendidikan…, hal. 62
[23] Abuddin Nata, Manajemen  Pendidikan…, hal. 64
 [24] Kusmana dan Yudhi Munadi, Proses Perubahan IAIN…, hal. 20  
[25] Kusmana dan Yudhi Munadi, Proses perubahan IAIN …, hal. 21
[26] Kusmana dan Yudhi Munadi, Proses Perubahan IAIN …, hal 22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekilas Khutbah Jumat

 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Pada hari Jumat, para umat Muslim di seluruh dunia melakukan ibadah salat Jumat yang mana saat ...