TRANSFORMASI IAIN MENJADI UIN
- PENDAHULUAN
Perguruan Tinggi Islam dijadikan sebagai
wadah dalam memberdayakan umat Islam dalam aspek kehidupan mereka. Namun apakah
akan menjadi satu aspek saja yang akan dihadapi dan diselesaikan umat Islam,
sedangkan aspek kehidupan lebih luas dari yang kita pahami sebatas nilai agama
atau pendidikan Islam sebagai membina generasi yang ahli agama atau beragama.
Dalam sejarahnya bahwa Sekolah Tinggi Islam
merupakan upaya memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat akan pendidikan Islam.
Tidak saja ini dianggap sebagai akomodir penguasa atas kelompok Islam. Bahwa
dengan harapan adanya Sekolah Tinggi Islam mampu mewadahi peran dan keberadaan
masyarakat muslim dalam aspek kehidupan yang beragam. Namun dalam
perjalanannya, perubahan sosial,
ekonomi, politik, pemahaman agama, pergeseran nilai dan pola hidup yang secara
dinamis selalu berkembang. Hingga pada akhirnya sekolah tinggi Islam perlu
peningkatan dan pengembangan ke arah
yang lebih luas. Misalnya saja perubahan lembaga dari Sekolah TInggi menjadi
Universitas Islam Indonesia, kemudian pengembangan fakultas agama menjadi naik
statusnya yakni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri. Kemudian harapan masyarakat
lainnya mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama di mana Mahmud Yunus
menjelaskan bahwa hadirnya ADIA ini adalah untuk mendidik pegawai negeri
dilingkungan kementrian agama dan untuk ahli agama.[1]
Hingga akhirnya penyatuan antara STAIN dan ADIA menjadi Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) dan berkedudukan di Yogyakarta.
Memasuki era baru abad 21, tantang baru
bagi IAIN menjadi Perguruan
Tinggi Islam yang mampu
menangkap tantangan global. Di mana pada abad ini menghadapi masyarakat yang
semakin kompleks, perkembangan iptek yang semakin maju. Sehingga menuntut IAIN
kembali untuk menerjemahkan tantangan dan peluang era abad 21 ini, ide itupun
disuarakan yakni gagasan ingin mentrasformasi IAIN menjadi Universitas. Di awal
memang ini ide besar dan akan membutuhkan perjuangan yang berat. Tentunya akan
menghadapi pro kontra atas harapan IAIN menjadi UIN.
Berangkat dari berbagai
permasalahan yang dihadapi Perguruan Tinggi seperti, berkurangnya minat
masyarakat untuk memasukkan anaknya di program keagamaan, pola hidup masyarakat
yang mengarah kepada kebutuhan ekonomi dan kerja, lulusan-lulusan program agama
dianggap belum mampu bersaing dalam dunia kerja dan berbagai permasahan
lainnya. Maka dari itu, untuk menjawab perubahan masyarakat global, dunia kerja
dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mau tidak mau Perguruan Tinggi
Islam harus pula meruba orientasi keilmuan dan mampu menangkap peluang era
global. Gagasan IAIN untuk menjadi UIN adalah awal untuk menjadikan Perguruan
Tinggi Islam mampu bersaing di era global.
- Sejarah IAIN
Dalam catatan sejarah, gagasan pendirian
lembaga pendidikan Islam telah dimiliki umat Islam sejak zaman Belanda. Diawali
oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo dengan mendirikan pesantren luhur tahun 1938
namun di akhirnya
gagal karena intervensi penjajah Belanda. Tahun 1940 Persatuan Guru Agama Islam
di Padang mendirikan Sekolah Islam Tinggi di Sumatera Barat dan bertahan sampai
1942. Beberapa tokoh nasional seperti M. Hatta, M.Natsir, K.H.A. Wahid Hasyim,
K.H. Mas Mansur juga mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta Tahun 1945 di
bawah pimpinan Abdul Kahar Muzakar.[2]
Masa revolusi kemerdekaan STI pindah ke Jogjakarta karena ibu kota pindah ke
sana sampai tahun 1948 akhirnya berganti nama menjadi Universitas Islam
Indoneisa (UII) dengan empat fakultas yakni hukum, agama, ekonomi dan
pendidikan.[3]
Berdirinya sekolah tinggi Islam juga
tidak terlepas dari kebijakan politik atas dua kelompok besar yakni nasionalis
dan kelompok Islam. Jamhari menjelaskan bahwa sebagai upaya memenuhi tuntutan
kebutuhan pendidikan umat Islam atau mengakomodasi umat, pemerintah mendirikan
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAIN) dari Fakultas Agama di UII Yogyakarta
dijadikan statusnya dengan nama PTAIN bertempat di Jojakarta dan sesuai dengan
PP nomor 3 tahun 1950. Ini juga nantinyya jadi cikal bakal IAIN.[4]
Dalam perjalanan selanjutnya, sebagai
upaya isntitusionalisasi pendidikan Islam dan mempersiapkan guru, tokoh dan
pimpinan agama didirikan pula ADIA di Jakarta. Ini didirikan sesuai dengan
Penetapan Menteri Agama RI No.1 Tahun 1950. Dengan Dekan pertama adalah Mahmud
Yunus dan Bustami A. Gani sebagai wakilnya.[5]
Mahmud Yunus menjelaskan bahwa Akademi Dinas Ilmu Agama didirikan guna mendidik dan
mempersiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan
akademi untuk dijadikan ahli didik Agama pada sekolah-sekolah lanjutan
(umum/kejuruan/Agama).[6]
Upaya pemerintah dalam mengintegrasikan
sistem perguruan tinggi Islam dan peningkatan mutu pendidikan terwujud dalam
penyatuan PTAIN dengan ADIA menjadi satu institusi yakni Institut Agama Islam
Negeri “Al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyah”. Upaya ini terlaksana
setelah Presiden RI mengeluarkan PP No. 11 tahun 1960. Pembentukan ini juga
mulai berlaku resmi pada tanggal 9 Mei 1960. [7]
Dalam peraturan pemerintah tersebut juga
menjelasnya tetang tujuan adanya IAIN adalah untuk memperbaiki dan memajukan
pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan pemerintah dan masyarakat.
Secara formal IAIN diresmikan tanggal 24
Agustus 1960 berdasarkan atas Penetapan Menteri Agama No. 35 tahun 1960,
berkedudukan di Jogjakarta dan Prof. Mr. R.H.A Soenarjo sebagai Rektor, Wasil
Aziz sebagai Sekretaris Senat, Prof. T.A. Hasby Ash Shiddieqy sebagai Dekan
fakultas Syari’ah, Prof. Dr. Muchtar Yunus sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin,
Mahmud Yunus sebagai Dekan Tarbiyah, Bustami A. Gani sebagai Dekan Fakultas
Adab. [8]
Lahirnya Institut Agama Islam Negeri yang
berpusat di Jogjakarta dan Fakultas Tarbiyah bertempat di Jakarta belum bisa
memenuhi seluruh kebutuhan akan pendidikan Islam bagi masyarakat nusantara yang
notabene muslim. Hingga dibukalah cabang-cabang keilmuan Islam di
daerah-daerah luar Jogjakarta dan Jakarta. Namun, semakin besar tuntutan
pemenuhan umat Islam, ternyata tidak cukup dengan membuka cabang. Perlunya ada
IAIN yang berdiri sendiri di daerah.
Sebagai upaya merespon kebutuhan umat Islam
akan pendirian IAIN di daerah, lahirlah peraturan pemerintah No. 27 tahun 1963
yang memberi kesempatan untuk mendirikan IAIN dan terpisah dari pusat. Jakarta
mendapat kesempatan pertama untuk mendirikan IAIN. Sehingga IAIN Jakarta adalah
yang kedua setelah IAIN Jogjakarta.[9]
Dalam perjalanan itu pula, berdiri
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh tanggal 5
Oktober tahun 1964, IAIN Raden Fattah tanggal 22 Oktober 1963, IAIN Antasari
Banjarmasin tanggal 22 November 1964, IAIN Sunan AMpel Surabaya tanggal 6 Juli
1965, IAIN Alaudin Ujung pandang 28 Oktober 1965, IAIN Imam Bonjong Padang 21
November 1966, IAIN Sultan Thaha Syaefuddin Jambi tahun 1967.[10]
Memasuki orde baru, pemerintah melakukan
pendekatan kepada tokoh-tokoh Islam dan daerah-daerah yang memiliki semangat
mendirikan IAIN. Fakultas yang masih merupakan cabang dari IAIN pusat dipromosikan
menjadi IAIN sendiri.
Di sini termasuk IAIN Sunan Gunung Djati Bandung tanggal 28
Maret 1968, IAIN Raden Intan lampung tanggal 28 Oktober 1968, IAIN wali Songo
Semarang tanggal 1 April 1970 dan IAIN Sultan Syarif Qosim Sumatera Utara
tanggal 19 November 1973.[11]
Selama satu dekade, jumlah mahasiswa
PTAIN semakin banyak. Mahasiswa itu tidak hanya datang dari seluruh tanah air,
tetapi juga dari negara tetangga, terutama Malaysia. Berdasarkan
perkembangan-perkembangan itu, dan pertimbangan lain yang bersifat akademis,
pada 24 Agustus 1960 Presiden mengeluarkan PP No. 11 yang menggabungkan PTAIN
dan ADIA dengan nama baru, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sejak saat
itulah secara berturut-turut di beberapa wilayah propinsi Indonesia berdiri
IAIN sebagai sarana bagi masyarakat Muslim untuk mendapatkan pendidikan tinggi
dalam bidang Islam. Hingga saat ini terdapat 14 IAIN dan 35 STAIN yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia.[12]
C. Perubahan IAIN menjadi UIN
Sejarah panjang perguruan tinggi Islam
di Indonesia, dari masa awal pendirian sekolah tinggi Islam, Universitas Islam
Indonesia, kemudian yang tadinya fakultas agama di UII dinaikkan statusya
menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam, diikuti pendirian Akademi Dinas Ilmu
Agama sampai pada penyatuan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN.
Munculnya gagasan perkembangan pendidikan
tinggi Islam di Indonesia yakni transformasi IAIN menjadi UIN. Ada beberapa
alasan yang diidentifikasi atas gagasan tersebut. Pertama, dengan bentuk
institut, ruang lingkup hanya sebatas keilmuan dan pengkajian keIslaman saja.
Kedua, wawasan mahasiswa dan dosen IAIN terbatas, berbeda halnya dengan
universitas umum. Sehingga pengkajian Islam seolah terputus dari persoalan
kontemporer yang aktual. Sehingga menuju transformasi lembaga tersebut menjadi
harapan yang harus diwujudkan, agar kedua alasan tersebut dapat diselesaikan.[13]
Gagasan tersebut bukan berarti langsung
terwujud, karena tetap saja harus melalui berbagai persyaratan, kesiapan
pemenuhan kebutuhan IAIN menjadi UIN dalam berbagai aspek; misalnya kegiatan
akademis akan lebih besar pengelolaannya, lahan yang harus diperluas, kebutuhan
tenaga dosen dan pegawai administrasi dan berbagai persiapan lainnya. Sampai
awal 1998, terdapat tiga IAIN yang mengajukan proposal yakni IAIN Yogyakarta,
Jakarta dan Bandung. [14]
Dalam pandangan Azyumardi Azra juga
dikatakan (salah satu arsitek penting dalam proyek perubahan IAIN ke UIN) bahwa
gagasan dan konsep dasar pengembangan IAIN menuju UIN tak lepas dari beberapa
masalah yang dihadapi IAIN dalam perkembangannya selama ini. Pertama, IAIN
belum berperan secara optimal dalam dunia akademik, birokrasi dan masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. IAIN lebih banyak berperan di masyarakat karena
dalam konteks dakwah. Kedua, kurikulum IAIN belum mampu merespon perkembangan IPTEK
dan perubahan masyarakat yang semakin kompleks.[15]
Alasan-alasan di atas menjadi bagian
dari upaya untuk melakukan perubahan IAIN menjadi UIN, sehingga tidak hanya
dominan pada orientasi dakwah akan tetapi juga untuk merespon dan menghadapi
masyarakat baru dan semakin kompleks. Dorongan kuat terhadap perubahan ini juga
dianggap untuk memperjelas institusi pendidikan Islam, Artinya IAIN dianggap
sebagai lembaga dakwah atau lembaga pendidikan tinggi? Seperti halnya
disampaikan oleh alm.Prof. Harsya W. Bachtiar (Guru Besar Universitas
Indonesia) bahwa agar IAIN mengambil sikap tegas antara sebagai lembaga dakwah
atau perguruan tinggi.[16]
Abuddin Nata mengungkapkan bahwa ada
beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya konversi IAIN menjadi UIN.
Pertama,
perubahan pada jenis pendidikan Madrasah Aliyah. Dulunya Madrasah adalah
sekolah agama, kini madrasah sudah menjadi bagian dari sekolah umum atau sekolah yang berciri khas Islam.
Di madrasah sudah terdapat mata pelajaran umum yang dimuat dalam kurikulumnya. Misalnya eksakta, sosial, bahasa dan fisika. Ini berbeda
dengan kondisi IAIN yang masih menyediakan sekolah agama. Lulusan madrasah akan
merasa kesulitan untuk masuk UIN. Di samping itu konversi ini juga untuk
menyambut tamatan sekolah menengah umum dapat
masuk IAIN apabila telah menjadi UIN, karena dapat menyediakan jurusan dan
fakultas umum. Perubahan ini juga merupakan misi untuk pemberdayaan
masyarakat/umat di masa depan. [17]
Kedua,
adanya dikotomi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Masalah dikotomi ini
solusinya adalah program integrasi ilmu
pengetahuan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan anggapan bahwa kalau IAIN
hanya menyelenggarakan ilmu-ilmu agama.
Ini akan melestarikan dikotomi
tersebut.[18]
Maka dengan ini IAIN harus menjadi UIN untuk dapat mendirikan fakultas-fakultas
umum.
Ketiga,
perubahan IAIN menjadi UIN merupakan peluang bagi para lulusan untuk memasuki
lapangan kerja yang lebih luas.[19]
Selama ini, arah lulusan IAIN adalah lembaga pendidikan Islam, kegiatan
kegiatan keagamaan, dakwah dan pada tataran departemen agama. Mmaka dengan
perubahan menjadi UIN akan lebih meluas lingkup kerja dan eksistensi lulusan
IAIN.
Dengan perubahan menjadi UIN juga
sebagai upaya konvergensi ilmu umum dan agama, seperti yang diungkapkan oleh
Harun Nasution bahwa perubahan IAIN menjadi universitas dirancang untuk menghilangkan
dikotomi ilmu pengetahuan.[20]
Keempat,
perubahan IAIN menjadi UIN adalah dalam rangka memberikan peluang bagi lulusan
IAIN untk melakukan mobilitas vertical. Yakni kesempatan gerak dan peran dan
memasuki medan yang lebih luas. Lulusan IAIN akan memasuki wilayah dan
lingkungan yang lebih luaus, bervariasi dan bergengsi. Perubahan ini juga ingin
kembali menaruh harapan umat Islam menjadi pelopor peradaban manusia yng dulu
pernah dicapai Islam zaman klasik.[21]
Kelima,
perubahan IAIN menjadi UIN juga merupakan tuntutan akan penyelenggaraan
pendidikan yang professional, berkualitas tinggi dan menawarkan banyak pilihan.
Apalagi dengan sambutan arus globalisasi yang melahirkan lingkungan persaingan
dan kompetisi. Sehingga IAIN dengan menjadi UIN merupakan bagian dari upaya
menghadapi tantangan dan menangkap peluang.
Gagasan menuju universitas bukan tidak
menghadapi tantangan ataupun pro kontra di kalangan muslim maupun
para tokoh Islam. Tantangan permasalahan bukan tidak ada, akan tetapi semenjak
ide perubahan lembaga tersebut disuarakan banyak menuai kritikan dan
pertanyaan. Menurut Abuddin Nata bahwa ada beberapa permasalahan yang muncul
baik itu terkait dengan legal formal, kelembagaan, filosofis, histori,
psikologis dan bahkan politis. [22]
Ia menjelaskan bahwa dari segi
legalitas, penambahan fakultas-fakultas umum atau non agama akan terbendung
dengan PP No. 60 Tahun 1999, ada yang ditekankan dalam peraturan tersebut yakni
institut. Istititut yang dijelaskan dalam peraturan tersebut adalah lembaga
pendidikan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dalam satu kelompok bidang
studi tertentu, seperti kelompok bidang studi agama saja, hukum saja, pertanian
saja dan seterusnya. Masalah berikutnya adalah kelembagaan, setelah perubahan
IAIN menjadi Universitas apakah kelembagaannya berada di bawah naungan
departemen Agama atau berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Persoalan
lain yang muncul adalah latar belakang filosofis-historis. Di mana IAIN
memiliki akar filosofis visi
dakwah dan pengkajian keIslaman. Adanya kekhawatiran tokoh Islam akan
dihapuskannya hasil perjuangan pendahulu mereka atas IAIN. Sisi lain juga ada
masalah yang timbul dengan perubahan IAIN menjadi UIN yakni masalah yang
bersifat politik. Di mana berdirinya IAIN tidak terlepas dari bentuk akomodir
dan penghargaan pemerintah atas peran dan kontribusi umat Islam dalam
perjuangan bangsa ini.[23]
Beberapa tokoh lain menanggapi secara
beragam ketika ide IAIN menjadi UIN. Misalnya saja mantan menteri Agama Munawir
Syazali. Menurutnya pendirian
IAIN adalah untuk menciptakan sarjana Agama. Maka apabila ada perubahan lembaga,
ia tidak tahu apa arah perubahan tersebut. Bila alasan Islamisasi ilmu,
bukannya ilmu pengetahun bersifat netral. Karenanya tidak perlu Islamisasi.
Munawir Syazali juga mempertanyakan apakah setelah perubahan lembaga tersebut
menghasilkan output yang semakin baik. Ia juga membandingkan kualitas mahasiswa
IAIN juga masih kurang. [24]
Selain itu juga gagasan transformasi
tersebut dikomentari senada oleh KH. Ma’ruf Amien (Ketua Syuriah PBNU). Ia juga tidak setuju
dengan adanya perubahan IAIN menjadi UIN Menurutnya IAIN tetap saja focus pada
pendidikan khusus masalah agama. Lain halnya pendapat yang di sampaikan oleh
Din Syamsuddin dan Tutti Alawiyah bahwa IAIN sudah waktunya berubah menjadi
UIN, karena untuk menangkap tantangan dan peluang di masa yang akan datang. [25]
Dalam perjalanannya, transformasi
perguruan tinggi Islam menjadi Universitas juga tidak dapat dihindari, apalagi
setelah berhasilnya IAIN Jakarta dan Jogjakarta menjadi UIN. Disusul dengan
IAIN di daerah lain. Seperti UIN Bandung, UIN Malang, UIN Alaudin Makasar.
Perubahan tersebut juga tidak terlepas
dari harapan untuk menjawab tantangan dan peluang yang dihadapi perguruan
tinggi Islam di Indonesia. Beberapa tanggapan di atas dan permasalahan di atas,
setidaknya dapat
diatasi apabila setiap IAIN memilki kesungguhan dan itikat baik untuk menjawab
perubahan tersebut. Perubahan menjadi UIN adalah salah satunya untuk memperluas
peluang dan kesempatan lulusan UIN dalam
dunia global. Dalam aspek keilmuan, bahwa sudah pantas kalau perubahan UIN
adalah upaya Islamisasi ilmu pengetahuan, integrasi ilmu umum dan agama.
Ditambahkan oleh Din Syamsudin bahwa, dengan perubahan menjadi UIN adalah upaya
perguruan tinggi Islam dalam mengintegrasikan nilai Islam dan etika dalam ilmu
pengetahuan.[26]
D. Penutup
Demikian makalah ini, sedikit mengulas
terkait perjalanan dan transformasi IAIN menjadi UIN. Namun menjadi pertnyaan
nantinya, bagaimana ruh perjuangan UIN. Tentunya berbeda dengan ruh perjuangan
IAIN didirikan. Bagaimana nati UIN mampu
menangkap perubahan masyarakat global dan menciptakan sarjana yang diharapkan
inklusif dalam keagamaan dan keilmuan serta sain. Dalam persoalan internal pun,
bagaimana nanti nasib fakultas agama yang semakin ke sini dilihat kurang
pamornya, bahkan promosinya lebih kepada fakultas umum. Apakah nanti fakultas
agama yang sudah menjadi ruh perjuangan awal didirikan IAIN menjadi mengerucut
dan bahkan menjadi satu fakultas. Setidaknya pertanyaan pemakalah ini, menjadi
permasalahan yang harus dipecahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008)
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam di
Indonesia, (Jakarta; Rajawali Press, 2010
Nata, Abuddin (et.al.), Dari Ciputat,
Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002)
____________ (ed.), Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
Grasindo, 2001)
____________, Manajemen Pendidikan,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
Rahim, Husni , IAIN dan Masa depan Islam Indonesia dalam situs http://ditpertais.net/husni.htm
Kusmana dan Munadi, Yudi (ed.), Proses
Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ciputat: Jakarta UIN
Press, 2002)
[1] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, 2008),
cet. Iii, hal.447
[2] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia, (Jakarta; Rajawali Press, 2010), hal 314-315
[3] Abuddin Nata (et.al.), Dari
Ciputat, Cairo, Hingga Colombia, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2002),
hal.13
[4] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.13
[5] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.14
[6] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan …, hal.447
[7] Abuddin Nata (et.al.), Dari
Ciputat, Cairo…, hal.14
[8] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.17
[9] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.18
[10] Abuddin Nata (et.al.), Dari
Ciputat, Cairo…, hal.13
[11] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.18
[12] Husni Rahim, IAIN dan Masa depan Islam Indonesia dalam situs http://ditpertais.net/husni.htm
dikutip tanggal 5 Desember 2012 pukul 16.38.
[13] Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Grasindo,
2001), hal.246-247
[14] Abudin Nata (ed.), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan…, h.
247
[15] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.23
[16] Abuddin Nata (et.al.), Dari Ciputat, Cairo…, hal.23
[17] Abuddin Nata, Manajemen
Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 5 hal.56
[18] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…,cet. 5 hal.58
[19] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…., cet. 5 hal.59
[20] Kusmana dan Yudi Munadi
(ed.), Proses Perubahan IAIN Menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Ciputat:
Jakarta UIN Press, 2002), hal.28
[21] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…, cet. 5 hal.60
[22] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…, hal. 62
[23] Abuddin Nata, Manajemen
Pendidikan…, hal. 64
[25] Kusmana dan Yudhi Munadi, Proses perubahan IAIN …, hal. 21
[26] Kusmana dan Yudhi Munadi, Proses Perubahan IAIN …, hal 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar