Penulis
*Jonson Harianto, S.Pd.I*
(disampaikan dalam Mata Kuliah Hadis S2 PAI UIN Jakarta)
PENDAHULUAN
Minggu
lalu kita telah membahas ilmu ma’anil hadis, yakni ilmu yang membahas tentang
bagaimana pemahaman atas makna suatu hadis. Timbulnya pemahaman makna hadis
yang berbeda tidak terlepas dari makna awal hadis, ataupun kedudukan suatu
hadis, termasuk harus mengkompromikan hadis dengan kondisi dan situasi suatu
zaman.
Pemahamana
hadis juga tidak terlepas dari sampainya hadis kepada rasul yang bersifat
universal, local, yang kadang tidak semua budaya atau tradisi menerima makna
hadis secara mentah-mentah. Yang perlu kita ingat pula bahwa, peran Nabi
Muhammad sebagai, Rasul, Hakim, pemimpin masyarakat pun akan mempengaruhi
apakah permasahan yang telah diselesaikan oleh Rasul merupakan hadis tasyri
atau ghairu tasyri.
Kembali
mengingat pemabahsan minggu lalu, bahwa dalam memahami hadis ada yang bersifat
tekstual adapula yang diletakkan pada posisi kontekstual. Namun, perlu digaris
bawahi pemahaman hadis dengan kedua metode tersebut bisa saja terjadi pada
hadis hadis sosial. bagaimana dengan hadist hadis yang berbicara soal aqidah,
hari kiamat, hari pembalasan, dosa dan pahala atau tentang keyakinan/keimanan.
Apakah ini semua bisa dibuktikan denga akal dan panca indra. Apakah pemahaman
hadis-hadis yang berbicara tentang poko-pokok persoalan di atas dipahami secara
tekstual ataupun secara kontekstual? Dalam hal ini hadis-hadis yang
membicarakan hal-hal aqidah, apakah akan dipahami secara zhahirnya saja atau
dengan ta’wil (al hikmah)? Landasan dengan al hikmah adalah tentang doa Nabi
Muhammad atas Ibnu Abbas agar diberi al hikmah dalam memahami sunahnya. Namun
ada pendapat seperti Ibnu taimiyah dalam memahami hadis-hadis mutasyabihat
aharus dikembalikan kepada makna zhahirnya, tidak boleh menggunakan ta’wil
apalagi hadis tersebut membicarakan soal akidah.
Selanjutnya
yang menjadi pembahasan kali ini adalah hadis-hadis irrasional, hadis-hadis
yang maknanya tidak masuk akal. Kalau salah-salah, hadis dalam kelompok ini
bisa dikatakan hadis yang madhu, karena mengada-ada pemahaman.
Kita
akan membahas kedua hal pokok di atas yakni tentang pemahaman atas hadis-hadis
mutasyabihat dan irrasional.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Mutasyabihat
Mutasyabih secara
bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa
dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua
hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara
keduanya secara konkrit maupun abstrak. Dalam pemahaman lain, hadis hadis
mutasyabihat adalah hadis yang belum jelas makna dan tujuannya karena mengandung
berbagai pengertian, sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang
tepat. Perlunya kajian yang mendalam untuk menemukan makna tersebut. Hadis yang
dikatakan mutasyabihat hadis-hadis yang berbicara hal-hal yang gaib seperti :
akhirat, surga, neraka, hari kiamat dan lainnya.
Dalam istilah Syuhudi Ismail, kategori hadis-hadis yang termasuk
hadis mutasyabihat adalah ungakapan atau hadis-hadis rasul yang disampaikan
secara simbolik. Inilah yang menimbulkan perbedaan pendapat alam memahaminya.[1]
Seperti
yang dijelaskan Yusuf Al Qardawi, ada beberapa kaidah umum dalam memahami
hadis, diantaranya adanya dengan membedakan makna hadis yang ghaib dan yang
nyata, kemudian kaidah lain dikenal pula dengan pemahaman dengan makna hakekat
dan majaz.
Dalam
kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya hadis
yang menyebutkan tentang makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti
malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap
hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu
menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri
untuk mengetahuinya.[2]
Teks-teks
hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah
adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk
mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang
termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang
sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi
harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat
tekstual ataupun kontekstual.
B. Metode Makna Zhahir dan Takwil
Kata “metode”
berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam
bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengn tariqat dan manhaj. Dalam bahasa
Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan.[3]
Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti
cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar
Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian tentang metode.[4]
1. Metode Zhahir
Zhahir artinya
tampak, lahirnya, tekstualnya. Metode zhahir artinya cara pemahaman yang
lahiriyah atau tekstual.
Metode
pemahaman secara zhahir adalah cara memahami hadis nabi dari segi lahirnya
saja. Makna hadis dikembalikan kepada makna lahiriyah saja. Dalam hal ini
berkaitan dengan masalah-masalah akidah qoth’i atau hadis-hadis mutawatir yang
qoth’i. Adapun untuk permasalahan sosial hadis-hadis tersebut dipahami secara
kontekstual.
Dalam istilah
lain pemahaman secara zhahir adalah pemahaman hadis secara tekstual. Tidak
keluar dari makna yang ada pada redaksi hadis tersebut.
2. Metode Ta’wil
Ta’wil menurut bahasa, terambil dari
kata awala yaitu kembali kepada asal. Diantara firman allah yang mengemukakan kata
Ta’wil adalah Artinya :
Untuk
mencari Fitnah atau mencari-cari takwilnya, pada hal tidak ada yang mengetahui
taqwilnya kecuali allah. ( Qs, Ali-Imran 7 )
Adapun
menurut ulama terdahulu, Ta’wil artinya Tafsir karena itu bila dikatakan Tafsir
Ta’wil Al-Qur’an, maka pengertiannya sama Ibn Jabir Al-tabari mengatakan dalam
tafsirnya, suatu pendapat tentang ta’wil dalam firman Allah ini … atau ahli
Ta’wil berbeda pendapat tentang ayat ini… yang dimaksud disini adalah ahli
tafsir Ta’wil dalam istilah mempunyai dua pengertian yaitu :
Ta’wil
menakwilkan kalam ( Kata-kata ) berarti apa yang dikembalikan kepadanya oleh
orang yang berbicara atau apa yang di ta’wilkan oleh kata-kata dan
dikembalikan, kata-kata itu dikembalikan dan dipulangkan hanya kepada
hakekatnya, yaitu apa yang dimaksud, terbagi dua yaitu –insyak dan ikbar.
Pemahaman literal teks-teks hadis
tidak jarang menimbulkan problema atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran,
apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, ahkekat
ilmiah atau keagamaan.
Ta’wil berasal dari kata ا و ل yang
berarti kembali kepada asal dan dibentuk dari pola kata wazan تفعيلyang berarti
memalingkan/memulangkan untuk banyak.[5]
Sedang menurut istilah ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi kepada ta’wil.
Abdul Wahaf Khalaf memberi definisi bahwa; ta’wil berarti
memalingkan lafazh dari zhahirnya lantaran ada dalil yang menguatkannya.[6]
Ibnu Jauzi member definisi, ta’wil adalah memalingkan ucapan
dari maudhu’nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkannya kepada dalil,
yang kalau tidak demikian maka zahir lafazh tidak akan ditinggalkan.[7]
Dari makna-makna di atas, ta’wil merupakan pemahaman makna
hadis yang berbeda dari makna zhahirnya.
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi berdoa untuk Ibn Abbas:
"Ya Allah ajarilah ia hikmah dan (kemampuan untuk) mentakwil al Qur'an"
(H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan al Hafizh Ibn al Jawzi)
Ini merupakan isnpirasi metode takwil adalah perlu untuk memahami makna/ ungkapan yang ada pada redaksi hadis.
"Ya Allah ajarilah ia hikmah dan (kemampuan untuk) mentakwil al Qur'an"
(H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan al Hafizh Ibn al Jawzi)
Ini merupakan isnpirasi metode takwil adalah perlu untuk memahami makna/ ungkapan yang ada pada redaksi hadis.
C. Contoh-Contoh Hadis Mutasyabihat
1.
Hadis tentang Dajjal
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص
م : ذَكَرَ الدَّجَّالَ بَيْنَ ظَهْرَ نَيِ
النَّاسِ . فَقَالَ اِنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ بأَِعْوَارَ . اَلَا , وَاِنَّ
المَََْسِيْحَ الدَّجَّالَ اَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى كَاَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ
طَا ءِفَةٌ.
Hadis riwayat dari Abd Allah bin Umar bahwa
rasulullah saw.menyebut al masih al dajjal di muka orang banyak. Kemudian
beliau bersabda, “sesungguhnya Allah ta’ala tidak buta ” sebelah mata.
Ketahuilah, al masih al dajjal itu buta matanya sebelah kanan, sedangkan
matanya seperti buah anggur yang timbul.[8]
Ungkapan Allah tidak buta merupakan
ungkapan simbolik. Karena pada sifat Allah tidak ada sifatnya yang menyerupai
makhluk-Nya.
Dijelaskan dalam syarah lain bahwa
al masih al Dajjal yang biasa disebut dajjal makhluk yang gambaran
fisiknya antara lain sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai matan hadis
Nabi. Ini pemahan tekstual.
Dalam kajian ini dinyatakan bahwa al
Dajjal adalah suatu ungkaan simbolik. Karenanya digunakan pemahaman secara
kontekstual. Al Dajjal merupakan gambaran suatu kondisi yang
penuh ketimpangan; para penguasa saat itu bersifat lalim, kaum dhuafa tidak
diperhatikan, amanah dikhianati, dan berbagai kemaksiatan lainnya telah melanda
masyarakat. [9]
2. Tuhan “Turun” ke Langit Dunia
يَنْزِلُ
رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالىَ كُلَّ لَيْلَةٍ اِلىَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ
يَبْقَى ثُلُثُ الَّيْلَ الاخِرَ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِى فَأَسْتَجِيْبُ لَهُ
مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيْهِ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُلَهُ.
Tuhan kita Allah, setiap malam
turun ke langit dunia pada pertigaan malam akhir; Allah berfirman “barang siapa
yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doanya itu; barang siapa meminta
kepada-Ku, niscaya Aku memberinya; dan barang siapa minta ampun kepada-Ku,
niscaya Aku mengampuninya.”[10]
Dalam pemahaman hadis di atas, ada ulama
memahami secara tekstual. Mereka beralasan karena matan hadis ini lemah. Karena
pemahaman Alla digambarkan sebagai makhluk yang naik turun.
Namun sebagian yang lain memahami hadis ini shahih dan harus dipahami
secara kontekstual. Yang dimaksud dengan Allah turun-ataupun naik bak layak
seperti perbuatan makhluk-Nya bukanlah demikian yang dipahami secara tekstual.
Dalam matan tersebut Allah naik-turun adalah rahmat-Nya.[11]
3. Anggapan Wujud (bentuk) Allah
Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan
Imam Muslim dalam dua kitab Sahih masing-masing; dari hadits
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:
خَلَقَ
اللهُ تَعَالَى ءَادَمَ (عليه الصلاة والسلام) عَلَى صُوْرَتِهِ
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita
ambil, mengatakan: ”Allah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk-Nya”. Makna
literal ini seakan menetapkan bahwa Allah memiliki bentuk].
Pemahaman
manusia dalam menyikapi hadits ini ada dua kelompok. Kelompok pertama; tidak
mempertanyakan tafsirannya [Artinya mereka mengimani hadits ini tanpa meyakini
bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran], sementara kelompok
ke dua mempertanyakan maksud dan tujuannya. Kelompok ke dua ini
mempermasalahkan kata ganti (Dlamîr); yaitu hurufHâ’ pada
redaksi “صورته”,
kembali ke manakah dlamîr tersebut? Ada tiga pendapat:
Pertama,
Kata ganti tersebut kembali kepada manusia yang ada dalam konteks hadits
tersebut. Karena konteks hadits tersebut menceritakan bahwa suatu ketika
Rasulullah lewat di hadapan seorang yang tengah memukul wajah temannya.
Orang yang memukul tersebut berkata kepada orang yang dipukul: “Semoga Allah
menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang yang menyerupai
wajahmu”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Jika seorang dari kalian memukul
saudaranya maka hindarilah untuk memukul wajah karena sesungguhnya Allah telah
menciptakan Nabi Adam di atas (seperti) bentuknya”.
Dalam hadits ini disebutkan Nabi Adam secara
khusus adalah karena beliau manusia pertama dengan bentuk wajah (dan fisik)
yang kemudian “diwarisi” turun-temurun oleh semua orang sesudahnya. Dalam
hadits itu Rasulullah seakan berkata: “Engkau telah menghinakan wajah Nabi Adam
padahal engkau berasal dari keturunannya”, dengan demikian uangkapan Rasulullah
ini sebagai peringatan yang sangat kuat dan mendalam. Kesimpulannya, dalam
pendapat pertama ini, kata ganti (dlamîr) dalam redaksi
hadits di atas kembali kepada orang yang berada dalam konteks hadits tersebut.
Adalah pemahaman yang sangat buruk jika
dipahami bahwa dlamîr dalam hadits di atas kembali kepada
Allah [seperti pemahaman kaum Musyabbihah yang menyimpulkannya bahwa Allah
memiliki bentuk], karena dalam konteks tersebut bahwa orang yang memukul
berkata: “Semoga Allah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang
yang menyerupai wajahmu”; dengan demikian jika dipahami bahwa dlamîr dalam
hadits tersebut kembali kepada Allah maka berarti dalam pemahaman yang rusak
ini Allah berwajah jelek, [di samping kesesatannya menetapkan anggota wajah
bagi Allah].
Kedua,
bahwa dlamîr “Ha” pada kata “صورته” untuk mengungkapkan dua nama yang
nyata sebagai makhluk yang memiliki bentuk (shûrah). Oleh
karenanya tidak benar jika dimaksudkan dengandlamîr tersebut
adalah Allah, karena telah tetap dalil bahwa Allah bukan benda yang memiliki
bentuk dan ukuran. Dengan demikian yang dimaksud “صورة” dalam hadits tersebut adalah kembali
kepada Nabi Adam. Maka makna hadits tersebut adalah: “Sesungguhnya Allah telah
menciptakan Nabi Adam di atas bentuk (shûrah) sempurna
seperti apa yang telah dikehendaki oleh-Nya pada diri Nabi Adam tersebut, tidak
melalui proses; dari air mani, lalu segumpal darah(‘Alaqah), dan lalu
segumpal daging (Mudlghah), artinya penciptaannya itu bukan lewat
proses seperti pada penciptaan anak cucunya”. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam
Sulaiman al-Khathabi, juga telah disebutkan oleh Imam Tsa’labah dalam
kitab al-Amâlî.
Ketiga bahwa dlamir “Ha” pada
kata “صورته”
kembali kepada Allah. Dalam makna ini terdapat dua pemahaman berikut; Pemahaman
pertama: dalam pengertian milik, artinya bahwa bentuk (shûrah) Nabi
Adam tersebut adalah ciptaan dan milik Allah [sebagaimana seluruh alam ini
adalah ciptaan Allah dan milik-Nya]. Dalam makna ini penyandaran kara shûrah kepada
dlamir “Ha” (Allah) mengandung dua makna. Pertama;
penyandaran untuk tujuan memuliakan (Idlâfah at-Tasyrîf), contoh
seperti ini dalam firman Allah:
وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطّائِفِيْنَ
Pengertian
“بيتي” [yang secara literal
bermakna “rumah-Ku”; yang dimaksud ka’bah] dalam ayat ini bukan artinya Allah
berada di dalam ka’bah, tetapi dalam pengertian bahwa rumah tersebut (Ka’bah)
adalah rumah yang dimuliakan oleh Allah (Bait Musyarraf Alâ Allâh).
Kedua; penyandaran untuk tujuan mengungkapkan bahwa Allah yang menciptakan
bentuk Nabi Adam tersebut di mana bentuk tersebut tidak pernah ada sebelumnya.
Pemahaman ke dua: bahwa makna
“الصورة”
dalam hadits tersebut dalam pengertian “الصفة” (sifat). Dalam bahasa Arab jika
dikatakan: “هذا صورة هذا
الأمر” maka maknanya adalah “صفة الأمر” [arti perkataan tersebut; “Ini
adalah gambaran (sifat) dari masalah itu”].
Dalam pemahaman ini maka makna
hadits di atas adalah bahwa Allah telah menciptakan Nabi Adam dengan sifat-sifat
seperti sifat-sifat Allah [dari segi lafazhnya], seperti sifat hidup (al-Hayât),
berilmu (al-‘Ilm), memiliki kemampuan (al-Qudrah),
mendengar (as-Sama’), melihat (al-Bashar), dan
berkehandak (al-Irâdah). [Artinya; sifat-sifat ini serupa dengan
sifat-sifat Allah dari segi lafazh-nya saja, tentu dari segi makna berbeda, ini
yang disebut dengan Ittifâq Bi al-Lafzh Dûna al-Ma’nâ]. Dengan
sifat-sifat inilah Allah menjadikan Nabi Adam memiliki keistimewaan dibanding
makhluk lainnya, bahkan diistimewakan di atas para Malaikat sehingga Allah
memerintahkan mereka untuk sujud hormat [bukan sujud ibadah] kepadanya. Dengan
demikian pemahaman kata “shûrah” di sini secara maknawi, bukan dalam
pengertian fisik yang berarti bentuk, susunan, dan benda.
Sementara itu Abu Muhammad ibn
Qutaybah memahami hadits ini dengan pemahaman yang sangat buruk, ia berkata:
“Allah memiliki bentuk, dan bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk, dan Allah
menciptakan Nabi Adam seperti bentuk-Nya tersebut”.
Pemahamannya ini tidak logis dan
sangat rancu, padahal ungkapan seperti itu sama saja dengan mengatakan bahwa
Allah menciptakan Nabi Adam dengan bentuk seperti bentuk Allah.Na’ûdzu
billâh.
Sementara al-Qâdlî Abu
Ya’la al-Mujassim dalam memahami hadits ini berkata: “Kita
katakan bahwa Allah memiliki bentuk yang tidak menyerupai segala bentuk,
sebagaimana kita mengatakan Allah adalah Dzat yang tidak menyerupai segala
dzat”.
Ungkapan Abu Ya’la ini juga tidak
logis dan sangat rancu. Sesungguhnya makna “الذات” secara bahasa adalah “الشىء” [artinya “sesuatu”],
sementara makna “الصورة”
dalam bahasa adalah bentuk, susunan, dan tataan yang membutuhkan kepada yang
menjadikannya dalam susunan tersebut. Perkataan [Ibnu Qutaybah dan Abu Ya’la]:
“...bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk” adalah kata-kata yang menyalahi
ungkapan sebelumnya; “Allah adalah bentuk”. Perkataan ini persis seperti
ungkapan: “Allah adalah tubuh (jism) yang tidak menyerupai
segala tubuh” [Jelas ungkapan yang kontradiktif]. Padahal tubuh (jism) dalam
pengertian bahasa adalah sesuatu yang tersusun dari dua benda (jawhar)
atau lebih. Karena itu ungkapan: “...tubuh-Nya tidak menyerupai segala tubuh”
jelas menyalahi ungkapan sebelumnya; “Allah adalah tubuh”. [12]
Dalam
contoh lain tentang maqomnya Allah, Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam
kitabnya al Asma wa ash- Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat
kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu
‘alaihi wa sallam:
َ Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala
sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah
al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah- Mu” (H.R.
Muslim dan lainnya).
Jika
tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia
tidak bertempat”. Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah
seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam
dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata: “Wahai
Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya
yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku
akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau
bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab:
“Ya”, Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah
Rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: “Ya”, kemudian Rasulullah berkata: Apakah
engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab : “Ya”,
kemudian Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia”.
Al
Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma’ az- Zawa-id Juz I, hal. 23
mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya
adalah perawi-perawi shahih”. Riwayat inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip
dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang
hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain.[13]
D. Contoh-Contoh Hadis Irrasional
1. Contoh Hadis tentang balasan dan
akhirat
Abu Daud meriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW,. Beliau bersabda
الواءدة والموء ودة في النار
Perempuan
yang mengubur hidup-hidup bayinya dan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
akan berada dineraka. [14]
Al
Imam Ahmad dan Al Nasai meriwyatkan dari salamah ibn Yazid Al Ja’fi, katanya:
aku dan saudaraku dating menghadap Rasulullah saw. Kami bertanya; “ wahai
rasulullah, ibu kami adalah orang berada, mau menyambung tali persaudaraan,
menghormati tamu dan melakukan banyak kebaikan, tetapi wafat pada masa
jahiliyah. Apakah itu bisa bermanfaat baginya?” beliau menjawab tidak. Kami
berkata: “ia juga mengubur hidup-hidup saudar perempuan kami pada masa
jahiliyah. Apakah itu akan berpengaruh terhadapnya?” Beliau menjawab: Perempuan
yang mengubur hidup-hidup bayinya dan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup
akan berada dineraka, kecuali jika perempuan tersebut menjumpai dan memeluk
Islam, lalu Allah mengampuninya. [15]
2. Contoh hadis puasa Ramadhan
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
اَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ ص.م قَالَ اِذَا
جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ اَبَوَبُ الْجَنَّةِ وَغُلَّقَتْ اَبْوَابُ
النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ اخرجه
مسلم والترمذي والنساءي
Dari Abi Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Apabila bulan ramadhan telah tiba, terbukalah pintu-pintu surge,
pintu-pintu neraka terkunci dan setan-setan terbelenggu.” (HR. Muslim, al
Turmudzi dan al Nasai)
Pemahaman
tekstual hadis tersebut tidak mampu menjawab persoalan yang terjadi
dimasyarakat, karena ternyata dalam bulan suci ramadhan masih banyak pula
kemaksiatan, apakah berarti pintu neraka tidak terkunci? Makna kontekstualnya,
orang mukmin yang berpuasa karena Allah, sangat ringan beribadah dalam bulan
ramadhan, sehingga tidak ada cela bagi syetan untuk mengganggu. Dalam kondisi
inilah dikatan syetan terbelenggu oleh kuatnya ibadah pada bulan ramadhan.
PENUTUP
Demikian
makalah ini, dapat disimpulkan beberapa point dalam pembahasan di atas. Pertama
bahwa hadis-hadis yang dikatakan mutasyabihat adalah hadis-hadis yang maknanya
samar. Sehingga menuntut untuk memalingkan makna zhahirnya. Adapun pemahaman
hadis tersebut terdapat dua kelompok dalam memahami maknyanya yakni kelompok
yang hanya cukup meyakini makna zhahirnya tidak perlu mengkaji lagi, karena
hanya Allah yang tahu maknanya. Kelompok kedua adalah mereka yang memandang
perlunya melakukan takwil atas hadis-hadis mutasyabihat tersebut. Takwil ini di
dasarkan pada hadis nabi yang berisi tentang doa beliau kepada Ibnu Abbas agar
diberi al hikmah.
Kedua,
hadis turun sebagai sebuah syar’I atau non syar’I, hadis bersifat klasikal,
kasuistik, local, universal sehingga perlunya mengkrompromikan makna hadis
tersebut sesuai dengan kondisi saat ini dan tidak bertentangan dengan dalil
lain. Seperti hadis-hadis di atas bahwa pemahaman makna hadis akan terlihat
irrasional jika dipahami dengan tekstual saja, namun perlu menggunakan
pemahaman kontekstual.
Selanjutnya
makalah ini jauh dari sempurna, pemakalah membutuhkan kritik, masukkan, saran
serta tanggapan dari materi yang dipaparkan baik segi teknis kepenulisan maupun
penyampaian materi. Dengan demikian, ilmu yang kita diskusikan tidak menjadi
rancu dan tidak terarah.
DAFTAR PUSTAKA
http://salafytobat.wordpress.com/2008/06/16/tawil-ayat-dan-hadits-mutasyabihat/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=331001460250103
Ibn
Ahmad Al Adlabi, Salahudin, Metodologi Kritik Matan Hadis (Jakarta;Gaya
Media Pratama, 2004)
Ismail,
Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2009), cet.II
Kholil ,Al Qattan, Manna, Studi
Ilmu Al Quran, Bogor: Pustaka Litera ANtamusa
Madjid, Khon,
Abdul, Pemikiran Modern dalam Sunnah, (Jakarta: Kencana, 2011) cet.I
Suyadi,
Raharusun, Agus (Penerj.), Pengantar Studi Hadis, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2007), cet. I, kitab aslinya Al Madkhal li Dirasah As-Sunnah An
Nabawiyyah karya Yusuf Al Qradhawi (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), cet 2
Syamsudin, Amir, Ushul Fiqh;
Jilid II, (Jakarta;Logos Wacana Ilmu)
Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta:
Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III
Wahhab ,Khalaf, Abdul, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada)
www.darulfatwa.org.au
[1] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2009), cet.II, h. 18
[2] Agus Suyadi Raharusun (Penerj.), Pengantar Studi Hadis, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2007), cet. I, h.265. kitab aslinya Al Madkhal li Dirasah
As-Sunnah An Nabawiyyah karya Yusuf Al Qradhawi (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991),
cet 2
[3] Tim Penyusun
Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., h. 740.
[5] Manna Kholil Al Qattan, Studi Ilmu Al Quran, (Bogor: Pustaka
Litera ANtamusa), h. 457
[6] Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta;
PT.Raja Grafindo Persada), 261
[7] Amir Syamsudin, Ushul
Fiqh; Jilid II, (Jakarta;Logos Wacana Ilmu), h. 38
[8] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual
dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), cet.II, h. 18, dikutip
dari kitab Shahih Muslim Juz IV, h.2247; Musnad Ahmad, Jilid II, h 33,37;
Shahih Bukhori, Juz IV, h.278.
[9] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual…,
h.19
[10] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual…,
h.20. di kutip dari kitab Shahih Muslim Juz I, h.521-522; Shahih Bukhori, Juz
I, h.200.
[11] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual…,
h.20.
[12] http://www.facebook.com/note.php?note_id=331001460250103,
dikutip Kamis, 29 Desember 2011
[14]Salahudin Ibn Ahmad Al Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis
(Jakarta;Gaya Media Pratama, 2004) H.228
[15] Salahudin Ibn Ahmad Al Adlabi, Metodologi Kritik …, H.228
Tidak ada komentar:
Posting Komentar