Minggu, 29 Juni 2014

MEMAHAMI HADIS-HADIS MUTASYABIHAT DAN IRRASIONAL




Penulis
*Jonson Harianto, S.Pd.I* 
(disampaikan dalam Mata Kuliah Hadis S2 PAI UIN Jakarta)
PENDAHULUAN
Minggu lalu kita telah membahas ilmu ma’anil hadis, yakni ilmu yang membahas tentang bagaimana pemahaman atas makna suatu hadis. Timbulnya pemahaman makna hadis yang berbeda tidak terlepas dari makna awal hadis, ataupun kedudukan suatu hadis, termasuk harus mengkompromikan hadis dengan kondisi dan situasi suatu zaman.
Pemahamana hadis juga tidak terlepas dari sampainya hadis kepada rasul yang bersifat universal, local, yang kadang tidak semua budaya atau tradisi menerima makna hadis secara mentah-mentah. Yang perlu kita ingat pula bahwa, peran Nabi Muhammad sebagai, Rasul, Hakim, pemimpin masyarakat pun akan mempengaruhi apakah permasahan yang telah diselesaikan oleh Rasul merupakan hadis tasyri atau ghairu tasyri.
Kembali mengingat pemabahsan minggu lalu, bahwa dalam memahami hadis ada yang bersifat tekstual adapula yang diletakkan pada posisi kontekstual. Namun, perlu digaris bawahi pemahaman hadis dengan kedua metode tersebut bisa saja terjadi pada hadis hadis sosial. bagaimana dengan hadist hadis yang berbicara soal aqidah, hari kiamat, hari pembalasan, dosa dan pahala atau tentang keyakinan/keimanan. Apakah ini semua bisa dibuktikan denga akal dan panca indra. Apakah pemahaman hadis-hadis yang berbicara tentang poko-pokok persoalan di atas dipahami secara tekstual ataupun secara kontekstual? Dalam hal ini hadis-hadis yang membicarakan hal-hal aqidah, apakah akan dipahami secara zhahirnya saja atau dengan ta’wil (al hikmah)? Landasan dengan al hikmah adalah tentang doa Nabi Muhammad atas Ibnu Abbas agar diberi al hikmah dalam memahami sunahnya. Namun ada pendapat seperti Ibnu taimiyah dalam memahami hadis-hadis mutasyabihat aharus dikembalikan kepada makna zhahirnya, tidak boleh menggunakan ta’wil apalagi hadis tersebut membicarakan soal akidah.
Selanjutnya yang menjadi pembahasan kali ini adalah hadis-hadis irrasional, hadis-hadis yang maknanya tidak masuk akal. Kalau salah-salah, hadis dalam kelompok ini bisa dikatakan hadis yang madhu, karena mengada-ada pemahaman.
Kita akan membahas kedua hal pokok di atas yakni tentang pemahaman atas hadis-hadis mutasyabihat dan irrasional.

 


PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis Mutasyabihat
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Dalam pemahaman lain, hadis hadis mutasyabihat adalah hadis yang belum jelas makna dan tujuannya karena mengandung berbagai pengertian, sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat. Perlunya kajian yang mendalam untuk menemukan makna tersebut. Hadis yang dikatakan mutasyabihat hadis-hadis yang berbicara hal-hal yang gaib seperti : akhirat, surga, neraka, hari kiamat dan lainnya.
Dalam istilah Syuhudi Ismail, kategori hadis-hadis yang termasuk hadis mutasyabihat adalah ungakapan atau hadis-hadis rasul yang disampaikan secara simbolik. Inilah yang menimbulkan perbedaan pendapat alam memahaminya.[1]
Seperti yang dijelaskan Yusuf Al Qardawi, ada beberapa kaidah umum dalam memahami hadis, diantaranya adanya dengan membedakan makna hadis yang ghaib dan yang nyata, kemudian kaidah lain dikenal pula dengan pemahaman dengan makna hakekat dan majaz.
Dalam kandungan hadis ada hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib, misalnya hadis yang menyebutkan tentang makhluk-mahluk yang tak dapat dilihat seperti malaikat, jin, syetan, iblis, ‘ars, kursy, qalam dan sebagainya. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib, Al-Qardhawi sesuai dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan itu kepada Allah tanpa memaksakan diri untuk mengetahuinya.[2]
Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.

B. Metode Makna Zhahir dan Takwil
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengn tariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[3] Sedangkan metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian tentang metode.[4]
1. Metode Zhahir
Zhahir artinya tampak, lahirnya, tekstualnya. Metode zhahir artinya cara pemahaman yang lahiriyah atau tekstual.
Metode pemahaman secara zhahir adalah cara memahami hadis nabi dari segi lahirnya saja. Makna hadis dikembalikan kepada makna lahiriyah saja. Dalam hal ini berkaitan dengan masalah-masalah akidah qoth’i atau hadis-hadis mutawatir yang qoth’i. Adapun untuk permasalahan sosial hadis-hadis tersebut dipahami secara kontekstual.
Dalam istilah lain pemahaman secara zhahir adalah pemahaman hadis secara tekstual. Tidak keluar dari makna yang ada pada redaksi hadis tersebut.



2. Metode Ta’wil
Ta’wil menurut bahasa, terambil dari kata awala yaitu kembali kepada asal. Diantara firman allah yang mengemukakan kata Ta’wil adalah Artinya :
Untuk mencari Fitnah atau mencari-cari takwilnya, pada hal tidak ada yang mengetahui taqwilnya kecuali allah. ( Qs, Ali-Imran 7 )
Adapun menurut ulama terdahulu, Ta’wil artinya Tafsir karena itu bila dikatakan Tafsir Ta’wil Al-Qur’an, maka pengertiannya sama Ibn Jabir Al-tabari mengatakan dalam tafsirnya, suatu pendapat tentang ta’wil dalam firman Allah ini … atau ahli Ta’wil berbeda pendapat tentang ayat ini… yang dimaksud disini adalah ahli tafsir Ta’wil dalam istilah mempunyai dua pengertian yaitu :
Ta’wil menakwilkan kalam ( Kata-kata ) berarti apa yang dikembalikan kepadanya oleh orang yang berbicara atau apa yang di ta’wilkan oleh kata-kata dan dikembalikan, kata-kata itu dikembalikan dan dipulangkan hanya kepada hakekatnya, yaitu apa yang dimaksud, terbagi dua yaitu –insyak dan ikbar.
Pemahaman literal teks-teks hadis tidak jarang menimbulkan problema atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, ahkekat ilmiah atau keagamaan.
Ta’wil berasal dari kata  ا و ل yang berarti kembali kepada asal dan dibentuk dari pola kata wazan  تفعيلyang berarti memalingkan/memulangkan untuk banyak.[5] Sedang menurut istilah ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi  kepada ta’wil.
Abdul Wahaf Khalaf memberi definisi bahwa; ta’wil berarti memalingkan lafazh dari zhahirnya lantaran ada dalil yang menguatkannya.[6]
Ibnu Jauzi member definisi, ta’wil adalah memalingkan ucapan dari maudhu’nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkannya kepada dalil, yang kalau tidak demikian maka zahir lafazh tidak akan ditinggalkan.[7]
Dari makna-makna di atas, ta’wil merupakan pemahaman makna hadis yang berbeda dari makna zhahirnya.
Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi berdoa untuk Ibn Abbas:
"Ya Allah ajarilah ia hikmah dan (kemampuan untuk) mentakwil al Qur'an"
(H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan al Hafizh Ibn al Jawzi)
          Ini merupakan isnpirasi metode takwil adalah perlu untuk memahami makna/ ungkapan yang ada pada redaksi hadis.

C. Contoh-Contoh Hadis Mutasyabihat
1. Hadis tentang Dajjal
عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص م   : ذَكَرَ الدَّجَّالَ بَيْنَ ظَهْرَ نَيِ النَّاسِ . فَقَالَ اِنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ بأَِعْوَارَ . اَلَا , وَاِنَّ المَََْسِيْحَ الدَّجَّالَ اَعْوَرُ الْعَيْنِ الْيُمْنَى كَاَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَا ءِفَةٌ.
Hadis riwayat dari Abd Allah bin Umar bahwa rasulullah saw.menyebut al masih al dajjal di muka orang banyak. Kemudian beliau bersabda, “sesungguhnya Allah ta’ala tidak buta ” sebelah mata. Ketahuilah, al masih al dajjal itu buta matanya sebelah kanan, sedangkan matanya seperti buah anggur yang timbul.[8]
Ungkapan Allah tidak buta merupakan ungkapan simbolik. Karena pada sifat Allah tidak ada sifatnya yang menyerupai makhluk-Nya.
Dijelaskan dalam syarah lain bahwa al masih al Dajjal yang biasa disebut dajjal makhluk yang gambaran fisiknya antara lain sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai matan hadis Nabi. Ini pemahan tekstual.
Dalam kajian ini dinyatakan bahwa al Dajjal adalah suatu ungkaan simbolik. Karenanya digunakan pemahaman secara kontekstual. Al Dajjal merupakan gambaran suatu kondisi yang penuh ketimpangan; para penguasa saat itu bersifat lalim, kaum dhuafa tidak diperhatikan, amanah dikhianati, dan berbagai kemaksiatan lainnya telah melanda masyarakat. [9]
2. Tuhan “Turun” ke Langit Dunia
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالىَ كُلَّ لَيْلَةٍ اِلىَ السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الَّيْلَ الاخِرَ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِى فَأَسْتَجِيْبُ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيْهِ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرُلَهُ.
Tuhan kita Allah, setiap malam turun ke langit dunia pada pertigaan malam akhir; Allah berfirman “barang siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan doanya itu; barang siapa meminta kepada-Ku, niscaya Aku memberinya; dan barang siapa minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya.”[10]
     Dalam pemahaman hadis di atas, ada ulama memahami secara tekstual. Mereka beralasan karena matan hadis ini lemah. Karena pemahaman Alla digambarkan sebagai makhluk yang naik turun.
      Namun sebagian yang lain memahami hadis ini shahih dan harus dipahami secara kontekstual. Yang dimaksud dengan Allah turun-ataupun naik bak layak seperti perbuatan makhluk-Nya bukanlah demikian yang dipahami secara tekstual. Dalam matan tersebut Allah naik-turun adalah rahmat-Nya.[11]


3. Anggapan Wujud (bentuk) Allah
Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam dua kitab Sahih masing-masing; dari hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

خَلَقَ اللهُ تَعَالَى ءَادَمَ (عليه الصلاة والسلام) عَلَى صُوْرَتِهِ

[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Allah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk-Nya”. Makna literal ini seakan menetapkan bahwa Allah memiliki bentuk].
       Pemahaman manusia dalam menyikapi hadits ini ada dua kelompok. Kelompok pertama; tidak mempertanyakan tafsirannya [Artinya mereka mengimani hadits ini tanpa meyakini bahwa Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran], sementara kelompok ke dua mempertanyakan maksud dan tujuannya. Kelompok ke dua ini mempermasalahkan kata ganti (Dlamîr); yaitu hurufHâ’ pada redaksi “صورته”, kembali ke manakah dlamîr tersebut? Ada tiga pendapat:
       Pertama, Kata ganti tersebut kembali kepada manusia yang ada dalam konteks hadits tersebut. Karena konteks hadits tersebut menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah lewat  di hadapan seorang yang tengah memukul wajah temannya. Orang yang memukul tersebut berkata kepada orang yang dipukul: “Semoga Allah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang yang menyerupai wajahmu”. Kemudian Rasulullah bersabda: “Jika seorang dari kalian memukul saudaranya maka hindarilah untuk memukul wajah karena sesungguhnya Allah telah menciptakan Nabi Adam di atas (seperti) bentuknya”.
         Dalam hadits ini disebutkan Nabi Adam secara khusus adalah karena beliau manusia pertama dengan bentuk wajah (dan fisik) yang kemudian “diwarisi” turun-temurun oleh semua orang sesudahnya. Dalam hadits itu Rasulullah seakan berkata: “Engkau telah menghinakan wajah Nabi Adam padahal engkau berasal dari keturunannya”, dengan demikian uangkapan Rasulullah ini sebagai peringatan yang sangat kuat dan mendalam. Kesimpulannya, dalam pendapat pertama ini, kata ganti (dlamîr) dalam redaksi hadits di atas kembali kepada orang yang berada dalam konteks hadits tersebut.
          Adalah pemahaman yang sangat buruk jika dipahami bahwa dlamîr dalam hadits di atas kembali kepada Allah [seperti pemahaman kaum Musyabbihah yang menyimpulkannya bahwa Allah memiliki bentuk], karena dalam konteks tersebut bahwa orang yang memukul berkata: “Semoga Allah menjadikan buruk terhadap wajahmu dan wajah-wajah orang yang menyerupai wajahmu”; dengan demikian jika dipahami bahwa dlamîr dalam hadits tersebut kembali kepada Allah maka berarti dalam pemahaman yang rusak ini Allah berwajah jelek, [di samping kesesatannya menetapkan anggota wajah bagi Allah].
       Kedua, bahwa dlamîr “Ha” pada kata “صورته” untuk mengungkapkan dua nama yang nyata sebagai makhluk yang memiliki bentuk (shûrah). Oleh karenanya tidak benar jika dimaksudkan dengandlamîr tersebut adalah Allah, karena telah tetap dalil bahwa Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Dengan demikian yang dimaksud “صورة” dalam hadits tersebut adalah kembali kepada Nabi Adam. Maka makna hadits tersebut adalah: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Nabi Adam di atas bentuk (shûrah) sempurna seperti apa yang telah dikehendaki oleh-Nya pada diri Nabi Adam tersebut, tidak melalui proses; dari air mani, lalu segumpal darah(‘Alaqah), dan lalu segumpal daging (Mudlghah), artinya penciptaannya itu bukan lewat proses seperti pada penciptaan anak cucunya”. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Sulaiman al-Khathabi, juga telah disebutkan oleh Imam Tsa’labah dalam kitab al-Amâlî.
Ketiga bahwa dlamir “Ha” pada kata “صورته” kembali kepada Allah. Dalam makna ini terdapat dua pemahaman berikut; Pemahaman pertama: dalam pengertian milik, artinya bahwa bentuk (shûrah) Nabi Adam tersebut adalah ciptaan dan milik Allah [sebagaimana seluruh alam ini adalah ciptaan Allah dan milik-Nya]. Dalam makna ini penyandaran kara shûrah kepada dlamir “Ha” (Allah) mengandung dua makna. Pertama; penyandaran untuk tujuan memuliakan (Idlâfah at-Tasyrîf), contoh seperti ini dalam firman Allah:
 وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطّائِفِيْنَ
       Pengertian “بيتي” [yang secara literal bermakna “rumah-Ku”; yang dimaksud ka’bah] dalam ayat ini bukan artinya Allah berada di dalam ka’bah, tetapi dalam pengertian bahwa rumah tersebut (Ka’bah) adalah rumah yang dimuliakan oleh Allah (Bait Musyarraf Alâ Allâh).  Kedua; penyandaran untuk tujuan mengungkapkan bahwa Allah yang menciptakan bentuk Nabi Adam tersebut di mana bentuk tersebut tidak pernah ada sebelumnya.
 Pemahaman ke dua: bahwa makna “الصورة” dalam hadits tersebut dalam pengertian “الصفة” (sifat). Dalam bahasa Arab jika dikatakan: “هذا صورة هذا الأمر” maka maknanya adalah “صفة الأمر” [arti perkataan tersebut; “Ini adalah gambaran (sifat) dari masalah itu”].
Dalam pemahaman ini maka makna hadits di atas adalah bahwa Allah telah menciptakan Nabi Adam dengan sifat-sifat seperti sifat-sifat Allah [dari segi lafazhnya], seperti sifat hidup (al-Hayât), berilmu (al-‘Ilm), memiliki kemampuan (al-Qudrah), mendengar (as-Sama’), melihat (al-Bashar), dan berkehandak (al-Irâdah). [Artinya; sifat-sifat ini serupa dengan sifat-sifat Allah dari segi lafazh-nya saja, tentu dari segi makna berbeda, ini yang disebut dengan Ittifâq Bi al-Lafzh Dûna al-Ma’nâ]. Dengan sifat-sifat inilah Allah menjadikan Nabi Adam memiliki keistimewaan dibanding makhluk lainnya, bahkan diistimewakan di atas para Malaikat sehingga Allah memerintahkan mereka untuk sujud hormat [bukan sujud ibadah] kepadanya. Dengan demikian pemahaman kata “shûrah” di sini secara maknawi, bukan dalam pengertian fisik yang berarti bentuk, susunan, dan benda.
 Sementara itu Abu Muhammad ibn Qutaybah memahami hadits ini dengan pemahaman yang sangat buruk, ia berkata: “Allah memiliki bentuk, dan bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk, dan Allah menciptakan Nabi Adam seperti bentuk-Nya tersebut”.
 Pemahamannya ini tidak logis dan sangat rancu, padahal ungkapan seperti itu sama saja dengan mengatakan bahwa Allah menciptakan Nabi Adam dengan bentuk seperti bentuk Allah.Na’ûdzu billâh
Sementara al-Qâdlî Abu Ya’la al-Mujassim dalam memahami hadits ini berkata: “Kita katakan bahwa Allah memiliki bentuk yang tidak menyerupai segala bentuk, sebagaimana kita mengatakan Allah adalah Dzat yang tidak menyerupai segala dzat”.
Ungkapan Abu Ya’la ini juga tidak logis dan sangat rancu. Sesungguhnya makna “الذات” secara bahasa adalah “الشىء” [artinya “sesuatu”], sementara makna “الصورة” dalam bahasa adalah bentuk, susunan, dan tataan yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam susunan tersebut. Perkataan [Ibnu Qutaybah dan Abu Ya’la]: “...bentuk-Nya tidak seperti segala bentuk” adalah kata-kata yang menyalahi ungkapan sebelumnya; “Allah adalah bentuk”. Perkataan ini persis seperti ungkapan: “Allah adalah tubuh (jism) yang tidak menyerupai segala tubuh” [Jelas ungkapan yang kontradiktif]. Padahal tubuh (jism) dalam pengertian bahasa adalah sesuatu yang tersusun dari dua benda (jawhar) atau lebih. Karena itu ungkapan: “...tubuh-Nya tidak menyerupai segala tubuh” jelas menyalahi ungkapan sebelumnya; “Allah adalah tubuh”. [12]
Dalam contoh lain tentang maqomnya Allah, Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma wa ash- Shifat, hlm. 506, mengatakan: “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alaihi wa sallam:
َ     Maknanya: “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah- Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”. Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wasallam dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab: “Ya”, Rasulullah berkata kepadanya: Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: “Ya”, kemudian Rasulullah berkata: Apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian? ia menjawab : “Ya”, kemudian Rasulullah berkata: Merdekakanlah dia”.
Al Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma’ az- Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih”. Riwayat inilah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat syahadat, bukan yang lain.[13]

D. Contoh-Contoh Hadis Irrasional
1. Contoh Hadis tentang balasan dan akhirat
Abu Daud meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi SAW,. Beliau bersabda
الواءدة والموء ودة في النار
Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayinya dan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada dineraka. [14]
Al Imam Ahmad dan Al Nasai meriwyatkan dari salamah ibn Yazid Al Ja’fi, katanya: aku dan saudaraku dating menghadap Rasulullah saw. Kami bertanya; “ wahai rasulullah, ibu kami adalah orang berada, mau menyambung tali persaudaraan, menghormati tamu dan melakukan banyak kebaikan, tetapi wafat pada masa jahiliyah. Apakah itu bisa bermanfaat baginya?” beliau menjawab tidak. Kami berkata: “ia juga mengubur hidup-hidup saudar perempuan kami pada masa jahiliyah. Apakah itu akan berpengaruh terhadapnya?” Beliau menjawab: Perempuan yang mengubur hidup-hidup bayinya dan bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada dineraka, kecuali jika perempuan tersebut menjumpai dan memeluk Islam, lalu Allah mengampuninya. [15]
2. Contoh hadis puasa Ramadhan

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْ لَ اللهِ ص.م قَالَ اِذَا  جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ اَبَوَبُ الْجَنَّةِ وَغُلَّقَتْ اَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِيْنُ  اخرجه مسلم والترمذي والنساءي
Dari Abi Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila bulan ramadhan telah tiba, terbukalah pintu-pintu surge, pintu-pintu neraka terkunci dan setan-setan terbelenggu.” (HR. Muslim, al Turmudzi dan al Nasai)
Pemahaman tekstual hadis tersebut tidak mampu menjawab persoalan yang terjadi dimasyarakat, karena ternyata dalam bulan suci ramadhan masih banyak pula kemaksiatan, apakah berarti pintu neraka tidak terkunci? Makna kontekstualnya, orang mukmin yang berpuasa karena Allah, sangat ringan beribadah dalam bulan ramadhan, sehingga tidak ada cela bagi syetan untuk mengganggu. Dalam kondisi inilah dikatan syetan terbelenggu oleh kuatnya ibadah pada bulan ramadhan.







PENUTUP
Demikian makalah ini, dapat disimpulkan beberapa point dalam pembahasan di atas. Pertama bahwa hadis-hadis yang dikatakan mutasyabihat adalah hadis-hadis yang maknanya samar. Sehingga menuntut untuk memalingkan makna zhahirnya. Adapun pemahaman hadis tersebut terdapat dua kelompok dalam memahami maknyanya yakni kelompok yang hanya cukup meyakini makna zhahirnya tidak perlu mengkaji lagi, karena hanya Allah yang tahu maknanya. Kelompok kedua adalah mereka yang memandang perlunya melakukan takwil atas hadis-hadis mutasyabihat tersebut. Takwil ini di dasarkan pada hadis nabi yang berisi tentang doa beliau kepada Ibnu Abbas agar diberi al hikmah.
Kedua, hadis turun sebagai sebuah syar’I atau non syar’I, hadis bersifat klasikal, kasuistik, local, universal sehingga perlunya mengkrompromikan makna hadis tersebut sesuai dengan kondisi saat ini dan tidak bertentangan dengan dalil lain. Seperti hadis-hadis di atas bahwa pemahaman makna hadis akan terlihat irrasional jika dipahami dengan tekstual saja, namun perlu menggunakan pemahaman kontekstual.
Selanjutnya makalah ini jauh dari sempurna, pemakalah membutuhkan kritik, masukkan, saran serta tanggapan dari materi yang dipaparkan baik segi teknis kepenulisan maupun penyampaian materi. Dengan demikian, ilmu yang kita diskusikan tidak menjadi rancu dan tidak terarah.









DAFTAR PUSTAKA
Ibn Ahmad Al Adlabi, Salahudin, Metodologi Kritik Matan Hadis (Jakarta;Gaya Media Pratama, 2004)
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), cet.II
Kholil ,Al Qattan, Manna, Studi Ilmu Al Quran, Bogor: Pustaka Litera ANtamusa
Madjid, Khon, Abdul, Pemikiran Modern dalam Sunnah, (Jakarta: Kencana, 2011) cet.I
Suyadi, Raharusun, Agus (Penerj.), Pengantar Studi Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), cet. I, kitab aslinya Al Madkhal li Dirasah As-Sunnah An Nabawiyyah karya Yusuf Al Qradhawi (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), cet 2
Syamsudin, Amir, Ushul Fiqh; Jilid II, (Jakarta;Logos Wacana Ilmu)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III
Wahhab ,Khalaf, Abdul, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada)
www.darulfatwa.org.au






[1] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), cet.II, h. 18
[2] Agus Suyadi Raharusun (Penerj.), Pengantar Studi Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), cet. I, h.265. kitab aslinya Al Madkhal li Dirasah As-Sunnah An Nabawiyyah karya Yusuf Al Qradhawi (Kairo: Maktabah Wahbah, 1991), cet 2
[3] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., h. 740.
[4] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia..., h. 741.
[5] Manna Kholil Al Qattan, Studi Ilmu Al Quran, (Bogor: Pustaka Litera ANtamusa), h. 457
[6] Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada), 261
[7]  Amir Syamsudin, Ushul Fiqh; Jilid II, (Jakarta;Logos Wacana Ilmu), h. 38
[8]   Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), cet.II, h. 18, dikutip dari kitab Shahih Muslim Juz IV, h.2247; Musnad Ahmad, Jilid II, h 33,37; Shahih Bukhori, Juz IV, h.278.
[9] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual…, h.19
[10] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual…, h.20. di kutip dari kitab Shahih Muslim Juz I, h.521-522; Shahih Bukhori, Juz I, h.200.
[11] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual…, h.20.
[13] www.darulfatwa.org.au, dikutip kamis, 29 Desember 2011
[14]Salahudin Ibn Ahmad Al Adlabi, Metodologi Kritik Matan Hadis (Jakarta;Gaya Media Pratama, 2004) H.228
[15] Salahudin Ibn Ahmad Al Adlabi, Metodologi Kritik …, H.228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sekilas Khutbah Jumat

 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Pada hari Jumat, para umat Muslim di seluruh dunia melakukan ibadah salat Jumat yang mana saat ...